Pendidikan sebagai daya pacu derap peradaban, pada prinsipnya berorientasi kepada pencerahan manusia dan dunia. Dewasa ini, kalangan akademisi baik personal maupun institusional, gencar berbicara dan berdiskusi tentang dunia pendidikan. Idealisme pendidikan sebagai dasar dan penggerak laju peradaban kini seakan tengah diselimuti oleh kabut pekat berbagai masalah.
Dunia pendidikan di Indonesia, baik pada tingkat lokal maupun nasional terus dililit aneka persoalan krusial yang menuntut perbaikan. Tawuran antar pelajar, pemalakan, dan begal sudah menjadi trend di kalangan pelajar dan menjadi tontonan harian. Akhir-akhir ini wajah pendidikan kita lagi-lagi ditampar dengan berita-berita pemerkosaan, penganiayaan terhadap guru, kepala sekolah, dan pembunuhan terhadap guru yang pelakunya adalah peserta didik sendiri.
Sementara itu orientasi pendidikan saat ini cenderung menekankan spesifikasi dan spesialisasi sebagai jawaban atas tuntutan keahlian dan profesionalisme kebutuhan dunia kerja. Peserta didik dirancang untuk mengikuti dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam arti, peserta didik diarahkan menjadi teknokrat yang berpikir canggih.
Di satu sisi, hal ini penting dan positif dalam perspektif adaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi pada sisi lain, muncul titik suram yang sangat memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya gejala dan fakta penyusutan praksis hidup yang mementahkan nilai-nilai moral dan etis.
Mencermati keadaan di atas, banyak akademisi, pemerhati pendidikan dan orang tua yang miris dengan wajah pendidikan dewasa ini. Orang tua selalu membanding-bandingkan dengan situasi dirinya ketika masih remaja dulu. Perilaku yang lembut pada orang tua, guru, sopan santun dinilai sudah luntur di kalangan pelajar saat ini.
Keadaan demikian inilah yang menggugah hati para pengambil kebijakan dalam hal ini pemerintah untuk merumuskan kembali suatu model pembelajaran pendidikan karakter. Pasalnya, hal itu dipandang mampu membentengi peserta didik dalam menghadang pengaruh buruk yang dapat menghilangkan jati diri sebagai bangsa yang luhur.
Menanamkan karakter pada peserta didik tidak semudah membalikan telapak tangan. Moral dan etika peserta didik tidak dapat hanya dibentuk dengan mengajarkan ayat-ayat kitab suci, dalil atau apapun namanya. Menurut Bowlow (Muhibbin Syah, 1999) sebagian besar dalam proses belajar manusia terjadi melalui imitation (peniruan) dan role-modeling(contoh perilaku).
Selanjutnya, menurut teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral, siswa ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespon) dan imitation (peniruan).
Mencermati kurikulum pendidikan kita saat ini yang lebih menekankan pada penguatan karakter, pelaksanaan pendidikan karakter atau budi pekerti dapat dilakukan melalui dua pendekatan (Suwandi, 2000). Pendekatan pengintegrasian serta pendekatan role-modeling dan imitasi.
Pendekatan integratif ke dalam mata pelajaran yang memiliki pokok bahasan yang sesuai, dapat dilakukan melalui penambahan materi pada mata pelajaran atau metode mengajar yang digunakan guru. Pendekatan ini berarti guru melaksanakan pendidikan karakter melalui fungsi guru sebagai pengajar.
Sementara pendekatan kedua menekankan pada aspek keteladan para guru. Semua guru di sekolah hendaknya menyadari bahwa dirinya bukan hanya mengajar tetapi juga pendidik bagi para siswanya. Para guru memiliki kewajiban moral yang melekat dengan profesi kependidikannya untuk memberikan keteladanan. Hal ini menunjukan bahwa guru melaksanakan pendidikan karakter melalui fungsi guru sebagai pendidik.
Pendidikan karakter merupakan suatu kebijakan dan sudah menjadi gerakan nasional. Oleh sebab itu, sekolah harus menjadi tempat strategis dalam pembentukan karakter bangsa karena memiliki sistem, infrastruktur, dan dukungan ekosistem pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
Nilai-nilai karakter harus ditanamkan pada peserta didik menjadi proses pembudayaan dan berkesinambungan. Karakter peserta didik harus bertumpuh pada kearifan lokal sehingga menjadi benteng dalam mengantisipasi kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin kompleks.
Ditulis oleh Anselmus Tara,S.Pd, Guru SMAN 1 Bola