“Siapakah yang pantas disebut guru?”
Setiap orang mungkin dapat menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan sudut pandangnya. Definisi tentang guru memang beragam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), guru didefinisikan sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Namun definisi guru yang tertuang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut merupakan definisi guru dalam arti sempit.
Untuk mendeskripsikan makna guru dalam arti luas, dapat melihat kembali apa yang dilakukan oleh tokoh Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara. Salah satu sumbangsih Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan adalah berdirinya Tamansiswa. Tamansiswa merupakan organisasi pendidikan alternatif dengan menekankan kemerdekaan dalam belajar. Di Tamansiswa tersebut Ki Hajar Dewantara memiliki sebuah konsep “Setiap orang bisa menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah”.
Filosofi di atas sangat relevan dengan keadaan yang tengah dihadapi oleh dunia pendidikan saat ini. Terjadinya pandemi Covid-19 membuat perubahan yang begitu besar pada berbagai sektor, tidak terkecuali pada sektor pendidikan. Dampak pada sektor Pendidikan yang paling terlihat adalah proses kegiatan belajar mengajar yang harus dilaksanakan di rumah secara daring (dalam jaringan) mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Kondisi ini tentu membuat perubahan yang terjadi di berbagai lini, termasuk peran orang tua dalam pendampingan anak belajar di rumah.
Proses pembelajaran yang dilaksanakan secara daring di rumah mau tidak mau menuntut orang tua untuk dapat membagi waktu antara bekerja, mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan menjadi “guru” bagi anak di rumah.
Ternyata menjadi guru bukanlah suatu hal yang mudah. Banyak orang tua yang mengeluh kesulitan untuk dapat mengkondisikan anaknya untuk belajar dan mengerjakan tugas dari sekolah. Waktu untuk sekolah dan bermain sulit dipisahkan karena anak biasanya lebih suka bermain daripada mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Orang tua seringkali bingung dan berharap anaknya bisa menyelesaikan tugasnya sendiri. Namun pada kenyataannya, anak-anak terutama yang masih duduk di bangku sekolah dasar masih belum bisa mandiri, kurang kooperatif, dan memberi macam alasan jika diminta mengerjakan tugas. Bahkan ada orang tua yang sudah menyerah dan menghubungi guru supaya guru dapat menasihati anaknya secara langsung karena anak lebih patuh pada perintah guru dibandingkan dengan perintah orang tuanya.
Selain itu, orang tua juga mengalami kesulitan untuk mengajarkan materi pelajaran kepada anak. Mayoritas orang tua sudah lupa akan materi pelajaran tersebut sehingga mau tidak mau orang tua pun harus ikut belajar lagi supaya dapat membantu anaknya belajar. Pada saat menjelaskan materi pada anak, orang tua juga sering mengalami emosi karena anak tak kunjung mengerti materi yang mereka ajarkan.
Untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan di atas, berikut ini beberapa strategi yang dapat digunakan oleh orang tua agar lebih siap untuk menjadi guru di rumah di antaranya perlunya menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi anak supaya anak tidak bosan dalam belajar.
Orang tua juga perlu menambah pengetahuan cara mendidik anak, bukan hanya belajar tentang materi pelajaran tetapi juga belajar menanamkan pendidikan karakter yang baik pada anak. Dan yang tak kalah penting, orang tua (ayah dan ibu) dapat berbagi tugas dalam mendampingi anak belajar. Berkonsultasi dengan guru terkait tugas-tugas pelajaran anak maupun aktivitas belajar anak di rumah juga perlu.
Strategi yang disebutkan di atas tidak hanya bermanfaat pada saat pembelajaran daring seperti saat ini. Besok pada saat pembelajaran tatap muka new normal sudah dilaksanakan, strategi di atas tetap dapat digunakan oleh orang tua supaya siap untuk menjadi guru bagi anak di rumah.
Peran serta orang tua sangat penting untuk mendukung keberhasilan anak. Lalu, siapkah orang tua untuk menjadi guru bagi anaknya sendiri di rumah?
Ditulis oleh Rosdiana Mawarni, S.Pd, Guru SD NEGERI KALIURANG 1