Oleh Siti Komariyah S.Pd.I
Menjadi guru merupakan cita-citaku sejak kecil. Di sekolahku kala itu bernama MIN Lengkong yang sekarang menjadi MIN 2 Ponorogo, seperti di sekolah pada umumnya di akhir kelas 6, siswa-siswi diminta menulis hobi dan cita-cita yang menjadi impiannya. Dengan senang hati aku menuliskan impianku untuk menjadi seorang guru.
Setelah menyelesaikan pendidikan di MIN, aku melanjutkan pendidikan tingkat Tsanawiyah dan Aliyah selama 6 tahun di Pesantren Putri Al-Mawaddah Coper, Jetis, Ponorogo. Keluarga yang agamis serta pendidikan kakak-kakakku yang menginspirasiku untuk meneruskan sekolah di sebuah pesantren .
Di situlah, awal mula aktivitas mengajar aku mulai. Kegiatan mengajar yang kulakukan awalnya merupakan aturan wajib pondok yang mana setelah tamat wajib mengabdikan diri dengan mengajar selama setahun. Awalnya merupakan sebuah keterpaksaan, namun akhirnya menjadi hal yang menyenangkan. Tak terasa selama 2 tahun aku menjalani pengabdian mengajar di pondok, yaitu dari tahun 1998 sampai tahun 2000.
Pondok Pesantren Darul Huffadz di Sulawesi Selatan, Kabupaten Bone, Desa 77 merupakan pesantren pilihanku dalam mengabdi. Pondok tersebut merupakan pondok tahfidz (intens di bidang hafalan Qur’an) yang dipimpin oleh seorang Kiai kharismatik di wilayah Bone, yaitu H. Lanre Said (almarhum).
Di sanalah aku mengajarkan ilmu kepada para santri dan santriwati. Ilmu yang kuajarkan merupakan ilmu-ilmu pesantren seperti bahasa Arab, Nahwu, Shorof, Balaghoh, Mahfudhot yang menjadi ciri khas Kurikulum Pondok Gontor Ponorogo (KMI). Pada saat itu santri dan santriwati yang belajar di sana merupakan santri dari kalangan menengah ke bawah.
Puji syukur atas segala nikmat, karena Allah telah mentakdirkan aku berada di sana ikut serta memberikan warna pendidikan dengan ilmu yang aku miliki dan bisa berbagi pengalaman dengan mereka serta lingkungan sekitar. Karakter lingkungan yang berbeda tidak membuatku membatasi diri dalam menambah pengalaman meskipun aku dilahirkan sebagai orang Jawa sedangkan di sana sebagian besar masyarakat suku Bugis.
Selain mengabdi bersama lima teman se-almamater, sembari mengajar dalam pengabdian selama 2 tahun, aku juga menjadi santri penghafal Qur’an. Alhamdulillah, akhirnya aku menyelesaikan hafalanku selama 2 tahun dan diwisuda.
Kembali ke kampung halaman
Setelah 2 tahun belajar Qur’an di Sulawesi dan menyelesaikan pengabdian, aku kembali ke kampung halaman di desa Nambangrejo.
Di kampung, dengan izin Allah, kami bangkitkan kembali madrasah yang sempat lesu sebagai taman pendidikan Qur’an bersama keempat kakakku, yaitu Mohammad Bahruddin (alumni pondok Darul Huda Mayak, Ponorogo), Muhammad Asmuni (alumni Pondok Arrisalah Ponorogo), Khoirul Anwar (alumni Pondok Termas). Kami bersama-sama mendirikan Madrasatul Qur’an yang kami beri nama Madrasah Diniyah As-Sholihin. Di situlah kami memulai dalam meneruskan perjuangan Kakek buyut dan Ayah kami dalam dunia pendidikan Islam.
Lembaga kami ini memang sudah ada sejak tahun 1800-an dan menjadi lembaga berizin resmi sejak tahun 1980. Itu dibuktikan dengan manuskrip Kakek buyut kami yang tersimpan rapi di perpustakaan pribadi. Karena Ayahanda mendapat musibah sakit akhirnya madrasah kehilangan kader, sedangkan saat itu aku dan keempat saudaraku masih menjadi santri.
Kemudian kami mulai menapak kembali menjadi pendidik sekaligus tim pengembang madrasah Qur’an. Alhamdulillah, sampai saat ini lembaga peninggalan tersebut tetap eksis dan dapat mengikuti regulasi pendidikan yang ada dan bisa mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu Qur’an.
Sudah menjadi tekad kami dalam mengarungi kehidupan ini selalu berjuang untuk menggapai ridha ilahi melalui mengajar, sehingga hidup dan kehidupan yang kita jalani akan ditata oleh Allah SWT. Dan itulah nilai-nilai yang ditanamkan oleh kedua orang tua kami.
“Nduk, neng kehidupan iki nggolek’o akhirat, dunyomu mesti katut.”
Artinya, “Nak, dalam kehidupan ini carilah akhirat, maka (kenikmatan) dunia pasti akan mengikuti.”
Menjadi guru adalah menjadi sosok yang bisa ditiru. Guru atau pendidik memiliki peran penting dalam membentuk perilaku siswa, menanamkan budi pekerti, mempersiapkan siswa dalam menghadapi masa depannya, serta mencapai tujuan akhir yaitu mengantarkan siswa selamat dunia dan akhirat.
Ketika siswa yang kita ajar mengamalkan ilmu yang kita berikan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan, itu akan menjadi amal jariyah. Sekecil apapun hal yang kita berikan, hal itu bisa sangat berarti untuk kita di akhirat kelak.
Mengajar di pendidikan formal
Pada tahun 2000, selain mengurus lembaga Madrasah Qur’an, ada tawaran dari Kepala Madrasah dan Komite MI untuk menjadi guru GTT. Sontak, hal tersebut sangat mengejutkanku dan tawaran itu langsung aku sepakati. Kemudian aku menjadi guru di lembaga formal tingkat MI yaitu di MI Ma’arif Lengkong.
Gaji guru GTT saat itu tidak menjanjikan, kisaran Rp200.000-300.000 per bulan sehingga banyak guru GTT putar haluan mencari pekerjaan lain yang lebih memberikan harapan. Setelah mengajar beberapa bulan, aku melanjutkan kuliah D2 PGSD/PGMI untuk menambah wawasanku dalam mengajar di tingkat MI.
Ulat cabe mengantarkan do’a jadi ASN
Kesibukan mengajar di MI sebagai GTT aku tekuni selama 8 tahun, empat hari hari masuk kerja dalam seminggu. Lalu sore harinya mengajar di Madrasah Diniyah As-Sholihin tiga hari dalam seminggu.
Sebagai anak desa yang orang tuanya memiliki ladang dan sawah, sesekali aku juga membantu memetik cabe hasil tanaman orang tua. Terkadang saat panen raya, sampai-sampai tak terasa aku bisa memetik cabe hingga satu keranjang.
Pada suatu ketika, sebelum pemetikan cabe kulakukan, tanpa kusadari ada seekor ulat bulu hitam berada di dahan pohon cabe dan menyentuh tanganku. Sontak aku terkejut dan kulempar cabe bersama wadahnya sehingga tumpah ruah di tanah.
Karena merinding dan ketakutan, aku pulang dan kutinggalkan begitu saja hasil petikan cabeku. Sepanjang jalan pulang ke rumah, aku meneteskan air mata dan munajat do’a keluar dari hatiku.
“Ya, Allah berikan aku pekerjaan yang mudah di tempat yang tidak ada ulatnya. Aku ingin menjadi guru PNS.”
Kejadian itu di tahun 2004 silam.
Sesudah dua tahun aku kuliah jurusan PGMI/PGSD di Institut Agama Islam Sunan Giri Ponorogo, berlanjut ke pendidikan SI dan tamat pada tahun 2007.
Pada tahun 2009, aku mendengar ada pendaftaran lowongan PNS untuk PGSD/PGMI. Ada dua lowongan untuk guru MIN dan aku satu di antara yang diterima. Alhamdulillah, berkat do’a kedua orang tua semua langkah dipermudah sehingga aku diterima menjadi PNS jalur tes.
Sebuah gumam hati yang terucap di tahun 2004 silam ternyata menjadi do’a dan mengantarkan sebuah impian menjadi kenyataan. Terima kasih, Allah! Jadikanlah pekerjaan ini berkah dan sebagai wasilah lithalabi mardhatik.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”