Oleh Faida Achmad Anshori
Guru di SMK Negeri Ngasem, Bojonegoro
Di dunia ini, saya percaya bahwa tidak ada hal sekecil apa pun yang terjadi karena kebetulan, termasuk jalan yang saya tempuh saat ini, yakni menjadi guru di SMK Negeri Ngasem, Bojonegoro. Sekolah tersebut berjarak lebih dari 100 km dari rumah tempat tinggal saya.
Saya lahir dan besar di Kota Kediri, Provinsi Jawa Timur, sebuah kota kecil yang indah dan terkenal dengan sebutan Kota Tahu. Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adik perempuan, orang Jawa menyebutnya sendang kapit pancuran.
Saya dibesarkan di keluarga yang sangat sederhana. Bapak bekerja sebagai pamong desa, petugas yang membantu mengurusi administrasi orang mau menikah dan orang yang pertama kali dicari apabila ada orang meninggal.
Kata Ibu, saat saya masih kecil, kalau ditanya besok besar nanti mau jadi apa? Pasti saya bilang menjadi guru.
Saya mulai mengenal sekolah karena diajak teman bermain yang sudah sekolah duluan di TK Dharma Wanita Blabak. Setelah dua tahun menamatkan sekolah di taman kanak-kanak, saya melanjutkan di Sekolah Dasar Negeri Blabak 1. Enam tahun sangat menyenangkan, karena teman-teman satu kelas juga merupakan teman-teman bermain di rumah. Tiada hari tanpa bermain.
Setamat dari Sekolah Dasar, saya melanjutkan di SMP Negeri 7 Kediri. Karena termasuk SMP yang baru berdiri dan ruang kelas masih sedikit waktu itu, sehingga kelas 1 harus masuk siang. Hanya ada beberapa teman dari SD yang masuk di SMP 7, sehingga butuh adaptasi dengan teman-teman baru. Ketika duduk di kelas 2 dan 3, saya masuk di kelas unggulan karena prestasi akademik saya boleh dibilang cukup baik dan selalu masuk sepuluh besar.
Tahun 1996, saya tamat dari SMP Negeri 7 Kediri. Kemudian melanjutkan di SMA Negeri 5 Kediri. Terus terang sedikit kecewa saat itu, karena tidak diterima di sekolah pilihan pertama saya, yaitu SMA Negeri 1 Kediri. Oleh sebab itu, nilai akademik saya di semester satu benar-benar anjlok karena tidak punya motivasi belajar. Namun kemudian saya kembali tersadar setelah melihat jerih payah orang tua yang harus bekerja keras demi pendidikan anaknya.
Tiga tahun di SMA, saya lalui datar-datar saja. Tanpa pernah ikut organisasi maupun kegiatan kesiswaan. Tahun 1999, tahun tumbangnya rezim orde baru adalah waktu di mana saya lulus dari SMA Negeri 5 Kediri. Tidak ada perayaan kelulusan, pun tidak ada acara perpisahan. Karena waktu itu memang tidak dibolehkan oleh pemerintah, hanya acara tasyakuran kecil-kecilan bersama teman satu kelas mengundang wali kelas saja.
Setamat dari SMA, benar-benar waktu paling galau antara melanjutkan ke universitas atau terminal satu tahun dulu. Mengingat kondisi Bapak waktu itu yang sedang sakit cukup serius. Dan akhirnya saya putuskan untuk ikut mencoba UMPTN di Kota Malang, meskipun targetnya hanya mencari pengalaman ikut ujian saja. Persiapannya pun ala kadarnya.
Pengumuman UMPTN menjadi hari yang sangat menyenangkan, karena nama saya untuk pertama kalinya masuk dalam siaran koran. Saya diterima di jurusan Fisika di Universitas Negeri Malang (UM). Fisika murni bukan keguruan.
Bapak menyarankan saya untuk mengambil kesempatan itu. Mulailah petualangan saya menjadi mahasiswa baru di Universitas Negeri Malang. Selain kuliah, saya juga aktif dalam kegiatan-kegiatan intra maupun ekstra di kampus.
Kampus bagi saya merupakan kawah candradimuka, tempat pembentukan karakter saya. Banyak pelajaran positif yang saya peroleh dari dunia kampus. Tentang organisasi, kepemimpinan, pengabdian, dan lain sebagainya.
Tahun 2004, selama sembilan semester saya menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Malang dan berhak menyandang gelar Sarjana Sain (S.Si).
Setelah itu, berbagai lowongan pekerjaan saya coba. Selama dua tahun berusaha mencari pekerjaan tidak kunjung mendapatkannya. Dan akhirnya teringat perkataan Ibu, saat masih kecil saya selalu bilang ingin menjadi guru. Mulailah melamar menjadi guru di SMP Ar Risalah Kediri pada tahun 2006 dan diterima menjadi guru Fisika.
SMP Ar Risalah Kediri merupakan salah satu SMP terbaik di Kota Kediri. Lembaga tersebut menggabungkan konsep pendidikan diniyah pondok pesantren dengan pendidikan umum.
Pengalaman pertama menjadi guru lumayan berat, karena dasar pendidikannya bukan seorang guru. Tahun kedua sudah mulai nyaman menjadi guru. Anak-anak pun sudah mulai menerima cara saya mengajar. Namun tahun ketiga menjadi tahun terakhir saya mengajar di sana.
Setelah dari SMP Ar Risalah, saya pindah mengajar di MTs Al-Ikhlash Blabak. Di sini tidak ada kesulitan mengajar sama sekali dan jaraknya pun cukup dekat dengan rumah. Tantangan terberatnya hanya menumbuhkan motivasi anak didik yang masih rendah untuk belajar.
Kurang lebih selama delapan tahun saya mengabdikan diri menjadi pengajar di sekolah tersebut. Mulai mata pelajaran IPA, Matematika, TIK dan Seni Budaya pernah saya ampu.
Tahun 2016 menjadi babak baru setelah terjun di dunia pendidikan vokasi. Itu bermula dari Kepala Sekolah MTs Al-Ikhlash Blabak yang meminta tolong saya untuk mengurusi SMK Terpadu Khoirot Kandat milik beliau.
Saya diminta untuk menjadi kepala sekolah SMK yang waktu itu dinilai bermasalah. Sempat saya menolaknya secara halus. Apa daya, karena kebaikan dan permohonan beliau berkali-kali, akhirnya saya mengiyakan. Tugas saya waktu itu adalah mencari cara agar SMK Terpadu Khoirot tidak mati. Artinya yang penting masih memiliki siswa dan diberikan izin operasional oleh pemerintah.
Menjadi kepala sekolah SMK yang bermasalah saya rasakan sangat berat berat sekali. Saya harus memikirkan mulai dari mencari tenaga pengajar, tenaga tata usaha, terutama mencari siswa sungguh sangat sulit. Pasalnya, di mata masyarakat SMK ini sudah mendapat stigma negatif. Tahun 2018, saya mengajukan pengunduran diri dari MTs Al-Ikhlas Blabak, agar lebih fokus mengurus SMK ini.
Dan Alhamdulillah, berkat kerja sama dengan para guru yang rata-rata masih muda dan penuh potensial, akhirnya SMK Terpadu Khoirot mulai mendapat kepercayaan lagi di masyarakat.
Tahun 2021 akhir, saya mengikuti tes ASN P3K dengan mengambil formasi Guru Fisika SMKN Ngasem. Saya dinyatakan lulus dan mendapat formasi. Hal ini membuat saya senang sekaligus kaget. Formasi yang saya tuju sebenarnya adalah SMKN Ngasem, Kediri, masih cukup dekat dengan tempat tinggal saya. Tapi ternyata saya mendapatkan penempatan di SMKN Ngasem, Bojonegoro yang kurang lebih jaraknya 108 km dari tempat tinggal saya.
Ada niatan tidak mengambil kesempatan ini. Namun keluarga dan teman memberikan motivasi untuk menerima panggilan tugas negara dan mengabdikan diri di SMKN Ngasem, Bojonegoro. Saya yakin ini adalah jalan yang harus saya tempuh dan telah menjadi ketetapan Tuhan. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.