Oleh Fadhilah, S.Pd
Guru SMK Negeri 1 Lhokseumawe
Nama saya Fadhilah, tinggal di Lhokseumawe, Aceh. Sejak kecil tidak pernah terbayang sedikitpun akan menjadi guru karena cita-cita saya dari kecil adalah ingin menjadi dokter. Tapi Allah berkata lain, kenyataannya sekarang saya adalah seorang guru yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap masa depan anak bangsa.
Masa kecil saya cukup bahagia. Sepulang sekolah sebelum pergi bermain-main dengan teman sebaya, terlebih dahulu harus membantu orang tua sebentar mengerjakan pekerjaan rumah. Kata Ibu, anak perempuan harus bisa melakukan pekerjaan rumah sebagai bekal masa depan yang wajib dilakukan oleh setiap perempuan, apapun profesinya.
Pada sore sampai malam hari, harus mengaji. Selesai mengaji langsung berhamburan pulang untuk menonton TV. Kami anak-anak bersama orang-orang dewasa duduk bersama berdesak-desakan. Hampir semua acara dilihat mulai dari siaran niaga sampai film. Sangking seringnya nonton, nyaris semua lagu anak-anak bisa kami hafal walaupun tidak pernah mengecap pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK).
Setiap awal bulan, Abang ipar saya sepulang dari bekerja selalu membawa berbagai macam majalah. Mulai dari majalah Kiblat, Tempo, Anita, Gadis, Hai, dan majalah Bobo. Koran juga ada. Sebagian dari majalah-majalah tersebut sebenarnya bukanlah majalah yang baru terbit. Saya dan ponakan yang berbeda umur setahun lebih tua sangat senang dengan itu semua.
Majalah dan koran kami santap bersih tanpa seleksi, walaupun sebagian dari ceritanya tidak kami mengerti. Namun setelah kami dewasa, baru paham “Oh, begini ceritanya”. Itulah kebiasaan kami kalau sedang tidak ada pekerjaan atau tidak ada teman yang datang mengajak bermain.
Hingga usia belasan tahun belum terbesit sedikitpun dalam hati untuk menjadi guru. Kalau ditanya tentang cita-cita, saya selalu bilang mau jadi dokter karena ingin mengobati Ayah yang sudah tua dan sering sakit.
Nah, pada suatu ketika usai tamat dari SMA, bersama teman-teman sekelas saya berangkat ke Banda Aceh untuk ikut seleksi masuk perguruan tinggi. Pada zaman itu namanya UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) di Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Karena cita-cita saya mau jadi dokter, tentu saja saya mendaftar di jurusan kedokteran.
Namun kemudian Abang tertua menginginkan saya untuk kuliah di fakultas keguruan saja. Katanya anak perempuan lebih baik jadi guru. Lewat Ibu, beliau menyuruh saya ke Medan untuk ikut seleksi masuk IAIN jurusan Tarbiyah Tadris. Sebenarnya saya tidak mengerti apa itu Tadris dan tidak sedikitpun berminat kuliah di sana. Tapi untuk menuruti orang tua, selesai ujian UMPTN di Banda Aceh, saya langsung berangkat ke Medan untuk mendaftar di IAIN, Fakultas Tarbiyah, jurusan Tadris IPA.
Selesai ujian masuk IAIN, lebih kurang dua minggu keluar pengumuman kelulusan. Nama saya keluar sebagai di antara daftar nama yang lulus. Saya senang bisa lulus tapi ragu untuk kuliah di sana karena sangat berharap lulus di kedokteran.
Pada saat memasuki hari-hari OSPEK di IAIN, koran pengumuman kelulusan UMPTN di seluruh Indonesia keluar. Saya belum beruntung, nama saya tidak masuk di universitas manapun yang saya pilih. Perasaan sedih dan kecewa bercampur aduk, tapi sedikit lega karena sudah lulus ujian masuk IAIN. Seandainya tidak, terpaksa harus menganggur satu tahun di rumah.
Hari-hari di tempat kuliah, sebenarnya saya masih belum ikhlas. Sementara itu, Ayah sudah sakit-sakitan dan selalu memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah. Kuliah baru dapat setengah, Ayah sudah pergi menghadap Allah. Sebagai anak paling kecil, saya sangat sedih karena kehilangan tempat berkeluh kesah.
Di Lhokseumawe ada sebuah perusahaan besar yang cukup terkenal dan merupakan salah satu perusahaan penghasil minyak terbesar di Indonesia, namanya PT. Arun NGL. Setiap dari Medan, saya melewati perusahaan tersebut. Saya sering menghayal selesai kuliah nanti bisa bekerja di sana. Tapi apa mungkin? Sedangkan saya kuliah di fakultas keguruan.
Selesai kuliah, saya belum percaya diri untuk bisa mengajar. Lama hanya berdiam diri di rumah menemani Ibu yang sudah tua. Waktu itu kami menetap di Medan. Suatu hari Kakak yang tinggal di Aceh menyuruh saya pulang untuk mencoba mengajar pada sebuah sekolah. Waktu itu di Aceh sedang sangat kacau, rakyat sedang minta referendum, perang di sana-sini. Namun demikian, saya bersama Ibu akhirnya pulang ke Aceh.
Saya diterima mengajar pada sebuah Madrasah Aliah Negeri (MAN) di kecamatan Jeunieb. Sekolah tersebut baru berdiri satu tahun dan sedang membutuhkan seorang guru Biologi.
Di tahun ajaran baru, sebagai guru baru, mengajar siswa yang usianya ada yang sebaya dengan saya—bahkan ada yang sudah menikah—tentu saja tidak mudah. Saya harus beradaptasi dengan mereka yang jumlahnya 38 orang, hanya beberapa orang perempuan, selebihnya laki-laki semua. Sebagian mereka bertingkah sangat aneh, mereka tampak benci dengan bahasa Indonesia.
Ngeri-ngeri sedap mengajar dalam suasana perang. Ketika sedang mengajar sesekali terdengar suara tembak, kadang suara bom. Di lain kesempatan, waktu pulang sekolah terpaksa ditunda karena tersiar berita di daerah yang bakal kami lewati sedang berlangsung perang dan pembakaran rumah.
Kabar orang hilang hampir terjadi setiap hari. Mayat-mayat yang diletakkan di pinggir jalan atau di pos ronda adalah pemandangan yang biasa. Lengkaplah penderitaan hidup pada saat itu. Kalau tidak terdengar suara tembakan justru aneh.
Tak mudah untuk menjadi guru PNS pada saat itu kalau tidak ada orang dalam. Banyak kecurangan di sana sini. Karena itu, saya harus memutuskan mundur dari mengajar karena sudah tidak ada jam mengajar lagi. Jam mengajar saya diambil oleh guru yang baru lulus PNS, yaitu warga sekitar sekolah.
Kemudian seorang teman Kakak di Lhokseumawe menawari saya untuk mengajar di MIN yang sedang membutuhkan guru IPA. Sekolah tersebut menerapkan aturan disiplin yang cukup tinggi, siswanya sangat pintar-pintar dan kritis walaupun masih kecil-kecil.
Ternyata dimulai dari sini Allah menunjukkan jalan untuk saya mewujudkan cita-cita waktu kuliah dulu. Suatu hari ada perekrutan guru baru di sekolah milik PT. Arun NGL. Saya mencoba memasukkan lamaran. Mulai dari mengisi formulir harus dengan bahasa Inggris, maklum sekolah perusahaan besar.
Ada empat tahap seleksi yang harus dilalui. Setelah berjuang panjang, akhirnya saya lulus. Alhamdulillah, Allah mengabulkan cita-cita saya untuk bekerja di PT. Arun tentunya sesuai dengan ijazah yang saya miliki yaitu guru.
Empat tahun mengajar sebagai pegawai tetap, gaji cukup lumayan. Tiba-tiba beredar kabar akan ada pengurangan guru sebanyak sembilan orang karena perusahaan sudah hampir habis. Kami yang masih muda-muda pada saat itu oleh guru senior disuruh melamar menjadi guru PNS. Kalau tidak, menurut kebiasaan di sana, yang tua-tualah yang bakal dirumahkan. Kamipun secara diam-diam ikut seleksi CPNS yang kebetulan pada saat itu sedang dibuka.
Kami guru sekolah di PT. Arun yang ikut seleksi berjumlah 27 orang yang tidak lulus hanya tiga orang. Pihak perusahaan pun kemudian marah karena guru yang mau dikurangi sebenarnya hanya sembilan orang, tapi kemudian 24 orang mengundurkan diri. Akhirnya kami semua tidak dapat uang pesangon.
Sementara menunggu penempatan sebagai guru PNS, tiba-tiba terjadi bencana Tsunami di Aceh. Banyak guru meninggal. Astaghfirullahal a’dzim, rasanya tidak habis-habis cobaan menimpa.
Setelah menunggu penempatan sampai satu tahun lamanya, pada saat surat keputusan keluar, tanpa disangka saya menjadi guru yang diperbantukan pada Madrasah Tsanawiyah Negeri. Padahal saya ikut PNS di kantor Dinas Pendidikan (PK).
Di sekolah baru ini, saya ada masalah. Setiap ada urusan, harus cari tahu sendiri ke kantor PK. Sementara pihak sekolah hanya mau menguruskan hal-hal yang menyangkut guru-guru yang berasal dari Depag (Departemen Agama). Setelah tiga tahun mengajar, saya banyak ketinggalan berita tentang apa saja yang harus diurus termasuk usulan tunjangan fungsional. Akhirnya saya melapor ke kantor PK untuk dikembalikan ke dinas PK. Saya pun dipindahtugaskan ke SMK.
Setelah beberapa tahun mengajar di SMK, timbul lagi masalah kurikulum KTSP berganti menjadi Kurikulum 2013. Mata pelajaran IPA sudah tidak muncul di SMK kami yang program keahliannya adalah TI dan Bispar. Saya yang sudah sertifikasi tidak ada jam mengajar lagi, tidak ada yang linier. Sementara teman-teman yang belum sertifikasi justru diberi jam Mapel apa saja yang penting mengajar.
Pada tahun 2016, dibuka Program Keahlian Ganda bagi Guru SMA/SMK. Saya mencoba ikut seleksi dengan mengambil program keahlian Multimedia. Alhamdulillah, lulus seleksi. Dan setelah satu tahun belajar saya dinyatakan lulus dan mendapatkan sertifikat bidang Multimedia. Maka sekarang saya mempunyai dua sertifikasi: Biologi dan Multimedia.
Sejak tahun 2018, saya mulai mengajar mata pelajaran produktif Multimedia sampai sekarang. Semoga di depan tak ada lagi aral melintang dalam perjalanan ini.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”