Meniti Jalan Menjadi Guru: Atik Wahyuningsih

- Editor

Senin, 18 April 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Atik Wahyuningsih, S.TP

Guru SMKN 1 Cangkringan

Panggilan hati menjadi guru itu datang ketika saya melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu desa di Wonosari, Gunung Kidul. Pada saat KKN ada kegiatan bimbingan belajar anak SD dan SMP yang dilakukan oleh mahasiswa KKN. Awalnya saya takut apakah bisa saya melakukan bimbingan, bagaimana cara berbicara di depan anak–anak; takut jika anak–anak tidak paham dengan metode yang saya ajarkan. Ketakutan–ketakutan itu saya lawan, dan saya mencoba melakukan bimbingan, akhirnya dengan berjalannya waktu saya menikmati membimbing anak–anak itu dalam belajar. Apalagi bila anak–anak tersebut paham dan senang dengan metode yang saya ajarkan.

Saya senang dan menikmati dalam membimbing anak–anak dalam belajar. Oh, ternyata begini rasanya jadi guru, ada seninya. Kemudian terbesit keinginan, jika nanti saya sudah lulus kuliah mau menjadi seorang guru. 

Keinginan saya tersebut saya ceritakan ke Ibu yang kebetulan beliau adalah seorang guru yang telah mengabdi selama 22 tahun. Antara senang dan marah beliau berkata, “Dulu disuruh mengambil kuliah jurusan Pendidikan tidak mau. Katamu tidak mau jadi guru seperti Bapak dan Ibu.” 

Ya, memang benar yang beliau katakan. Bapak dan Ibu adalah seorang guru SD.  Pada waktu lulus SMA,saya pernah ditawari untuk mengambil kuliah jurusan Pendidikan tetapi saya tidak mau karena saya tidak mau mempunyai profesi sama dengan Bapak dan Ibu.

Setelah lulus SMA, saya mengambil kuliah jurusan Teknologi Hasil Pertanian karena saya ingin bekerja di bagian Pengawasan Mutu. Tetapi mimpi saya tersebut sirna setelah saya menyelesaikan KKN, keinginan menjadi guru itu semakin mantap.

Menjadi guru ternyata bukan hanya bagaimana kamu bisa berbicara di depan kelas, bukan hanya bagaimana kamu menguasai materi yang akan kamu ajarkan. Tetapi bagaimana kamu bisa mengelola suatu proses pembelajaran, mendidik para siswa supaya memiliki sikap yang baik, mengembangkan materi pelajaran dengan kreatif dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dan seorang guru juga harus memiliki keterampilan komunikasi, bersikap, dan berinteraksi secara umum baik itu dengan peserta didik, sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua siswa hingga masyarakat luas.

Untuk mendapatkan ilmu dan keterampilan seorang guru tersebut, setelah lulus kuliah S1, saya melanjutkan kuliah profesi guru yaitu mengambil kuliah Akta IV. Satu tahun saya mengambil kuliah Akta IV. Di situ saya mendapatkan ilmu tentang Pengantar Pendidikan, Perkembangan Peserta Didik, Belajar dan Pembelajaran, Perencanaan Pengajaran, Kemampuan Dasar Mengajar, Strategi Belajar Mengajar, Penelitian Pendidikan, Pengembangan Bahan Ajar, Evaluasi Pendidikan dan Program Pengalaman Lapangan. Sebelum lulus Akta IV, saya melakukan Praktik  Pengalaman Lapangan (PPL) di sebuah sekolah yang disesuaikan dengan jurusan S1.

Karier sebagai guru saya awali dari ujung timur Indonesia tepatnya di kota Jayapura,  Papua. Kenapa dari Papua sedangkan saya berasal dari Jogja?  

Bulan Mei tahun 2006 saya merantau ke Papua. Berada di tempat baru, kultur baru, teman baru. Itu semua harus saya hadapi. Menjadi guru honorer di SMP Nurul Huda, Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) Papua,  adalah tempat pertama kali saya menjadi seorang guru. Bukan guru mata pelajaran Teknologi Hasil Pertanian yang sesuai dengan jurusan S1 saya, tapi sebagai guru mata pelajaran Fisika.

Meskipun berada di Papua, saya bertemu dengan karakter siswa yang berbeda; ada suku Jawa, Bugis, Kei, Batak, Toraja dan tentu saja ada suku Papua.  Ini berat, tapi saya harus hadapi karena sudah menjadi kemantapan saya untuk menjadi seorang guru.

Hari demi hari saya lewati dengan menikmati menjadi seorang guru pemula. Tiga bulan kemudian saya ditawari lagi untuk mengajar di sekolah SMP swasta milik Persit (Persatuan Istri Tentara) yang kebetulan jam belajarnya siang sampai sore hari. Saya pun menerima tawaran tersebut karena tidak berbenturan jadwalnya dengan SMP Nurul Huda, sekalian untuk mencari pengalaman menjadi guru.

Tahun ajaran baru 2006/2007, pendaftaran guru kontrak untuk SMK dibuka.  Saya mencoba mendaftar dengan tidak terlalu berharap diterima karena penerimaan diutamakan untuk putra daerah. Namun tampaknya keberuntungan menghampiri saya dan saya diterima menjadi guru kontrak di SMK.

Kemudian saya mengabari kedua orang tua saya yang berada di Jogja bahwa saya telah diterima menjadi guru kontrak. Kebanggaan yang dirasakan oleh kedua orang tua saya, bahwa saya benar–benar sudah menjadi seorang guru seperti impian mereka.

Dan waktu pengumuman penempatan SK guru kontrak tiba, SMK Negeri 7 Jayapura yang terletak di perbatasan kota Jayapura dengan negara tetangga Papua Nugini (PNG) adalah penempatan saya sebagai guru kontrak tersebut. Itu adalah zona merah, demikian kata-kata yang terlontar dari teman-teman saya yang sudah lama tinggal di Jayapura. 

Ternyata kenyamanan dan kedamaian yang rasakan pada saat pertama kali menginjakkan kaki di SMKN 7 Jayapura. Itu menghapuskan stigma negatif tentang zona merah yang diceritakan oleh teman-teman. 

Karena letaknya di daerah rawan konflik, saya tidak memberitahukan kepada kedua orang tua terkait lokasi sekolah tempat saya mengajar. Tetapi hanya memberi tahu bahwa saya diterima sebagai guru kontrak di SMK Negeri 7 Jayapura agar kedua orang tua saya tidak khawatir.

Selama 2 tahun menjadi guru kontrak di SMKN 7 Jayapura, saya masih aktif mengajar di SMP Nurul Huda karena masih belum ada guru pengganti. Sedangkan tugas di SMP Persit sudah saya lepaskan. Tiga hari mengajar di SMP, tiga hari mengajar di SMK. Akhirnya saya harus melepaskan tugas mengajar di SMP Nurul Huda karena aturannya sebagai guru kontrak mengharuskan 5 hari kerja di sekolah induk.

SMKN 7 Jayapura yang terletak kurang lebih 50 Km dari pusat kota Jayapura adalah SMK Agribisnis dan Agroteknologi. Di SMK tersebut, saya mengajar mata pelajaran yang kebetulan belum ada gurunya yaitu Matematika. Pada saat saya masuk menjadi guru di sana belum ada jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

Suka duka saya lalui selama tiga setengah tahun menjadi guru kontrak di SMKN 7 Jayapura. Bukan hanya  masalah perbedaan suku-agama yang harus saya hadapi, tetapi juga lika liku tentang tanah adat dan pemalangan sekolah. Sehingga begitu banyak kenangan yang tersimpan di memori saya. 

Tahun 2009, saya mengikuti tes Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk formasi tahun 2008 di Kabupaten Jayapura. Saat pengumuman tiba, tepatnya bulan Juni tahun 2009, Formasi Guru Pertanian atas nama Atik Wahyuningsih, S.TP diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kabupaten Jayapura unit kerja SMK Negeri 2 Nimboran. 

Rasa bahagia campur sedih saya rasakan. Bahagia karena berhasil diterima sebagai CPNS. Sedih karena lingkungan Kabupaten Jayapura masih sangat baru bagi saya.  Saya juga harus berpisah dengan teman-teman di SMKN 7 Jayapura dan beradaptasi dengan tempat baru yang lebih jauh jaraknya dari tempat tinggal saya.

Lagi-lagi saya tidak menceritakan kepada kedua orang tua tentang kondisi daerah dan kondisi sekolah tempat saya bertugas. SMK Negeri 2 Nimboran letaknya jauh dari pemukiman penduduk, jauh dari jalan raya, tepatnya di tengah hutan. Arus transportasi yang susah dan kondisi saya yang baru memiliki anak bayi membuat terbesit keinginan untuk  mengundurkan diri dari pencalonan Pegawai Negeri Sipil. 

Akan tetapi keinginan tersebut pupus setelah bertemu dengan teman-teman di sekolah baru yang begitu baik. Mereka mengerti keadaan saya, memberikan dukungan agar tetap melanjutkan menjadi PNS. Nasib kami guru SMKN 2 Nimboran nyaris sama, bekerja jauh dari tempat tinggal, memiliki anak-anak yang masih kecil.  

Tanggal 1 September 2009, saya resmi berstatus sebagai guru PNS di SMKN 2 Nimboran. Rasa syukur selalu saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil. 

Mengajar di daerah terpencil dan jauh dari jangkauan masyarakat perkotaan tentu tidak mudah. Dari kota Jayapura untuk sampai SMKN 2 Nimboran kurang lebih 60 Km jarak yang harus ditempuh. Untuk perjalanan ke sekolah setiap hari, terkadang saya menggunakan transportasi umum tapi lebih banyak ikut kendaraan apa saja yang melewati sekolah kami agar cepat sampai sekolah. Kadang ikut kendaraan pribadi, truk, mobil tangki, sampai mobil kontainer pernah saya naiki.

Karena sudah punya pengalaman mengajar di daerah perbatasan, saya tidak kaget saat mengajar di SMK Negeri 2 Nimboran dengan fasilitas serba terbatas. Selain itu ada panggilan hati yang selalu membuat saya semangat mengabdi di daerah terpencil tersebut. 

SMK Negeri 2 Nimboran saat itu menampung tidak lebih dari 200 siswa dan terletak di kampung Kuipons, distrik Nimboran, kabupaten Jayapura, yang masuk dalam kategori daerah tertinggal. Mengajar di sekolah tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi saya sebagai guru. Saya harus terbiasa mengajar dengan sangat lambat, mengulang-ulang dalam rangka menyesuaikan materi dengan kemampuan peserta didik. Pada saat mengajar seringkali saya harus mengajarkan hitungan sederhana, atau meminta anak meningkatkan kemampuan dasar dalam hal membaca dan menulis yang seharusnya sudah dikuasai oleh siswa level sebelumnya.

Dengan berbagai keterbatasan tersebut tidak pernah mengurangi semangat saya untuk memberikan ilmu kepada siswa, walaupun semangat anak-anak sendiri untuk bersekolah sangat kurang karena minimnya kesadaran pentingnya pendidikan. 

Di masa pandemi Covid-19 kemarin, kami para guru di sekolah tersebut menghadapi kendala dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Karena selain tidak ada sinyal internet, siswa juga tidak memiliki alat pendukung seperti ponsel atau laptop. Sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pembelajaran daring. 

Mengingat jumlah siswa tidak banyak yang rata – rata per kelas berjumlah 15  siswa, maka pembelajaran pada saat pandemi tetap dilaksanakan secara luring dengan tetap mengikuti prosedur kesehatan. Segala keterbatasan yang ada dan ditambah wabah Covid-19 tidak serta merta menyurutkan semangat kami guru di daerah terpencil untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak.

15 tahun menjadi guru di Papua, kalau ditanya tentang kendala-kendalanya pasti sangat banyak. Bukan hanya faktor kendala alam, siswa, masyarakat tetapi juga kendala tentang keamanan. Seringkali kami para guru bertemu dengan kelompok pengacau di jalan yang mengharuskan kami untuk putar balik dan tidak melanjutkan untuk pergi ke sekolah. Atau pada waktu pergi ke sekolah belum ada kerusuhan tetapi pada saat pulang kami harus menghadapi kondisi mencekam. Namun, alhamdulillah, Allah SWT selalu melindungi kami.

Tahun 2021, setelah 15 tahun tinggal di Papua, saya harus mengambil keputusan yang sangat berat. Karena suatu alasan, saya dan keluarga harus pindah pulang kampung ke Yogyakarta. Berbagai proses untuk mutasi saya lalui dari tahun 2019. Setelah menunggu selama 3 tahun, akhirnya SK mutasi ke Yogyakarta pun keluar.  

Ada rasa sedih karena harus meninggalkan Papua yang alamnya begitu indah. Di sana ada teman-teman seperjuangan yang berasal dari Sabang sampai Merauke.  Kenangan suka duka selama 15 tahun itu tentu tidak akan bisa terhapus dalam memori  saya. Namun di balik kesedihan itu, pasti ada kebahagiaan karena bisa kembali ke tanah kelahiran dan berkumpul dengan kedua orang tua.

Sejak tanggal 01 Agustus 2021, saya bertugas di SMK Negeri 1 Cangkringan. Saya harus kembali beradaptasi dengan sekolah baru yang notabene lebih maju dibandingkan sekolah-sekolah sebelumnya di mana saya pernah mengajar. 

Beradaptasi dengan sekolah di luar Papua merupakan tantangan yang tidak mudah bagi saya. Beruntungnya saya adalah orang yang suka belajar. Walaupun saya mengajar di daerah terpencil tetapi saya selalu mengikuti perkembangan teknologi terbaru meskipun teknologi tersebut tidak pernah bisa saya terapkan pada saat mengajar di Papua.  

Sekolah Pusat Keunggulan (PK) adalah istilah asing pertama yang saya dengar setelah mutasi di SMK Negeri 1 Cangkringan. 

Apa itu sekolah PK? Kurikulum seperti apa yang diterapkan di sekolah PK?  Semua itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus saya pecahkan.

SMKN 1 Cangkringan adalah SMK Pusat Keunggulan, yaitu SMK yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten sehingga mudah terserap di dunia usaha, dunia industri dan dunia kerja serta dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun mempersiapkan siswa menjadi wirausahawan muda. Kurikulum yang diterapkan di sekolah PK juga berbeda dengan kurikulum sekolah biasa.

Setelah sekian tahun tinggal di Papua, menjalani kehidupan di Yogyakarta baru dimulai kembali. Belajar dan belajar itu yang harus terus saya lakukan. Panggilan hati menjadi guru telah pulang ke asalnya setelah memulai tugas mengajar dari ujung Indonesia bagian timur. 

Saya mencantumkan dengan jelas tempat dan nama sekolah tempat bertugas karena sekolah-sekolah tersebut sangat berjasa dalam karier saya meniti jalan menjadi seorang guru. (*)

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com  dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”

Berita Terkait

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka
Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 
Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan
Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 
Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua
Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan
Berita ini 6 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 10:35 WIB

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

Senin, 19 Februari 2024 - 15:20 WIB

Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 

Jumat, 16 Februari 2024 - 09:32 WIB

Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan

Selasa, 13 Februari 2024 - 10:50 WIB

Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:35 WIB

Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan

Senin, 5 Februari 2024 - 10:27 WIB

Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:55 WIB

Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:20 WIB

Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru