Selain melihat dampak positif maupun negatif dari sisi perkembangan kognitif siswa, kita perlu memberikan perbandingan sistem yang dianut negara di Asia lainnya yang memiliki kualitas pendidikan bagus & berkualitas.
Singapura, di tahun 2018 mereka resmi menghapuskan sistem ranking, menteri pendidikan Ong Ye Kung menegaskan bahwa sekolah bukanlah ajang untuk kompetensi. Penghapusan sistem ini berlaku mulai awal tahun 2019 pada sekitar 1700 sekolah di sana.
Pengukuran cerdas atau tidaknya siswa tidak dinilai dari akademik saja, namun adab dalam bersosialisasi juga termasuk di dalamnya.
Bahkan di dunia kerja, nilai akademik mendapat urutan yang sangat jauh di bawah attitude baik untuk diterima dalam sebuah pekerjaan.
Negeri dengan julukan The Lion City ini memiliki sistem pendidikan yang baik, meski tidak menerapkan sistem peringkat, kira-kira untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia apakah kita perlu menghapuskan sistem ini? Mari kita pertimbangkan poin-poin berikut ini.
Pendapat Ahli
Poin pertama yang dipertimbangkan adalah pendapat dari ahli. Pakar pendidikan Prof. Dr. H. Arief Rachman, M. Pd., berpendapat bahwa sistem ranking masih diperlukan untuk membuat peta evaluasi.
Serta memilih tindakan apa saja yang dapat dilakukan oleh pendidik terhadap peserta didik. Hal ini dapat meningkatkan mutu pengajaran dan langkah-langkah yang tepat dalam perbaikan kualitas belajar mengajar di suatu instansi pendidikan.
Prof. Etty Indriati Ph.D (Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional) menyatakan bahwa anak-anak semestinya tidak di-ranking karena dapat memberikan stigma dan menimbulkan dampak negatif secara psikologis, terutama bagi mereka yang mendapat peringkat rendah.
Menurut psikolog Sartono Mukadis, sistem ranking merupakan bentuk pelecehan pada kemampuan peserta didik. Hal ini diartikan sebagai membuat anak dikondisikan dalam keadaan yang kurang sehat dan pada nuansa persaingan.
Halaman berikutnya
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya