Oleh Aris Siswati, M.Pd.
Mengajar di UPT SDN Blandongan
Cita-citaku selalu berubah di setiap jenjang sekolah. Ketika di sekolah dasar, aku bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun saat di sekolah menengah pertama, aku ingin menjadi penulis karena pada waktu itu aku sangat mengagumi penulis cerpen yang bernama Zara Zettira. Begitu pula ketika masuk sekolah menengah atas, cita-citaku kembali berubah dan aku ingin menjadi wanita karier yang bekerja di perkantoran. Menurutku itu jauh lebih baik daripada menjadi seorang guru.
Aku berasal dari desa kecil di wilayah timur Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur, yaitu Desa Ranuklindungan yang terkenal dengan danaunya yang melegenda: Danau Ranu Grati. Aku adalah anak pertama dari tiga bersaudara.
Ayahku pernah bekerja di PT Patal Grati, namun seiring berjalannya waktu ayahku memilih menjadi kondektur bus AKAS karena banyak saudara yang bekerja di sana. Sedangkan ibuku hanya seorang ibu rumah tangga biasa.
Tetangga di sekitar rumahku banyak yang berprofesi sebagai seorang guru. Dan rata-rata taraf hidupnya tidak lebih baik dari kami. Belum lagi saat aku masih sekolah, tahu sendiri bahwa menjadi guru itu banyak tidak enaknya; harus menghadapi kelakuan siswa yang kadang keterlaluan atau tidak bisa dinasehati. Karena itulah, aku sempat tak berminat sama sekali untuk menjadi seorang guru.
Lulus dari sekolah menengah atas aku sebenarnya ingin kuliah, namun karena keterbatasan biaya membuatku harus mengubur impian itu. Apalagi adikku yang perempuan masuk di sekolah kebidanan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Aku harus mengalah agar adikku bisa terus sekolah.
Akhirnya aku melamar kerja sebagai seorang kasir di sebuah hotel bintang tiga di daerah Sukapura, Probolinggo. Grand Bromo Hotel namanya, yang berada di bawah naungan Dharmala Group. Dengan bekerja, aku tidak lagi merepotkan orang tuaku, bahkan aku bisa sedikit membantu perekonomian keluarga.
Dua tahun aku bekerja di sana, lalu ada tawaran pekerjaan dari kepala personaliaku untuk menjadi staf personalia di sebuah sport center di Bandung, Jawa Barat. Tawaran gajinya lumayan besar saat itu. Sehingga aku dan seorang teman nekat berangkat dan bekerja di sana.
Bekerja di tempat khusus untuk orang-orang berolahraga ini sebenarnya sangat menyenangkan, aku bisa banyak belajar menguasai beberapa jenis olahraga seperti renang dan tenis lapangan. Karyawan yang berasal dari luar daerah mendapat rumah tinggal semacam asrama, sehingga kami tidak perlu keluar biaya kos.
General Manager Grand Bromo Hotel tempatku bekerja dulu adalah orang Bandung. Setiap pulang ke Bandung, ia selalu menyempatkan singgah ke tempat kerjaku. Pada suatu ketika, aku bercerita padanya bahwa aku ingin mengundurkan diri dan pulang kampung setelah temanku menemukan jodohnya dan menikah.
Alhamdulillah, ternyata ia menawarkan posisi General Cashier di Grand Bromo Hotel karena posisi itu sedang kosong. Tentu saja aku sambut antusias tawaran tersebut. Aku pun kembali bekerja di Bromo dan bertemu jodohku. Kami menikah ketika usiaku 25 tahun dan suamiku 32 tahun. Suamiku adalah Staf Personalia di Grand Bromo Hotel.
Setahun menikah ada peraturan baru bahwa pasangan suami istri tidak boleh sama-sama bekerja di sana, salah satunya diminta mengundurkan diri. Dan kebanyakan para istri lah yang memutuskan untuk mundur, termasuk aku. Setelah tidak bekerja, Allah menganugerahi kami dengan lahirnya sang buah hati pada tahun 1999.
Di tahun 2001, anak ibu kos mengajakku mendaftarkan diri ke program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Negeri Jember. Saat itu booming sekali jurusan tersebut. Jurusan guru mulai banyak diminati, entah kenapa. Dan akupun ikut mendaftar dan mengikuti tes masuk di sana. Namun baik aku maupun anak ibu kos gagal masuk jurusan tersebut.
Saat kehamilanku yang kedua tahun 2002, aku memutuskan pulang kampung dan tinggal bersama orang tuaku. Ternyata di kampungku pun sedang ramai-ramainya ikut pendaftaran ke PGSD. Akupun ingin sekali lagi mencoba keberuntunganku. Namun kali ini aku memilih mendaftar ke PGSD Universitas Negeri Malang dengan persiapan yang jauh lebih matang.
Alhamdulillah, ternyata keberuntungan berpihak padaku. Aku diterima dan mulai ikut kuliah dalam kondisi hamil. Untungnya kehamilanku kali ini tidak rewel sehingga aku bisa mengikuti kegiatan perkuliahan dengan lancar. Setelah melahirkan, aku berusaha mencari sekolah dan melamar menjadi tenaga sukarelawan (sukwan). Dan aku memilih madrasah yang kala itu masuknya siang hari sampai sore. Di madrasah inilah aku pertama kali belajar menjadi seorang guru. Hal yang awalnya sangat aku hindari, pada akhirnya coba aku nikmati.
Lulus dari PGSD, aku melamar menjadi tenaga kontrak di lingkungan Departemen Agama karena memang pengalamanku mengajar di madrasah. Alhamdulillah, setelah melalui serangkaian tes, aku diterima dan ditugaskan di sebuah madrasah pagi yang sangat terpencil. Di sekolah inilah, aku merasakan hakikat sebenarnya menjadi seorang guru; mendidik siswa usia dewasa namun masih gagap membaca. Tinggi tubuh mereka bahkan sudah menyamai tinggi gurunya, namun menulis pun masih tidak sempurna. Namun jangan ditanya soal ilmu agama, mereka jauh lebih mumpuni dari saya sebagai gurunya. Tingkat kesopanan mereka pun luar biasa.
Mirisnya, untuk menuju ke lokasi madrasah itu harus melewati jalan yang lumayan menguras tenaga dan emosi, karena memang jalannya masih berupa tanah dan kedua sisinya perkebunan luas yang sepi dan jarang dilewati orang. Melewatinya serasa uji nyali. Lucunya lagi bila tiba musim panen, siswa di madrasah tersebut kebanyakan tidak masuk sekolah karena harus membantu orang tua.
Setelah setahun mengajar di sana, pada tahun 2005, ada seleksi CPNS di lingkungan Departemen Pendidikan dan di Departemen Agama. Aku memutuskan untuk mendaftar dua-duanya meskipun tahu jadwal tesnya bersamaan. Dan saat tes, akhirnya aku memilih mengikuti tes di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Atas izin Allah, aku lolos tes CPNS dan ditugaskan di SDN Blandongan, Kecamatan Bugul Kidul, Kota Pasuruan sejak bulan Oktober tahun 2006.
Lokasi sekolah tersebut berada di batas kota, ujung paling timur. Awalnya terasa berat karena harus berkendara di jalan raya yang notabene banyak kendaraan-kendaraan besar lalu lalang. Namun hal itu tak mengurangi tekat dan semangatku untuk mengabdi di tempat kerja baru.
Setelah menjadi seorang guru PNS, aku baru baru memahami bahwa menjadi guru ternyata tidaklah mudah. Banyak orang berpendapat bahwa menjadi guru adalah profesi yang paling enak; santai, kerja tidak sampai sore seperti kerja di kantor, saat siswanya libur bisa ikut libur, bahkan bisa dapat tunjangan profesi. Padahal faktanya, jadi guru bukan hanya dituntut pandai dalam ilmu pengetahuan, melainkan juga harus paham tentang karakter dan kejiwaan seseorang, khususnya terkait peserta didik di kelasnya. Guru juga harus bisa menyampaikan ilmu kepada para peserta didik dengan baik termasuk mengerti perbedaan kecepatan belajar pada setiap peserta didik.
Setiap anak memiliki keunikan masing-masing, demikian pula dalam hal kecerdasan. Anak yang dianggap pandai di bidang pengetahuan belum tentu mampu di bidang keterampilan. Demikian pula sebaliknya. Bahkan ada anak yang kurang pemahamannya pada beberapa mata pelajaran yang diajarkan guru, namun sangat cerdas dalam bermusik. Hal-hal semacam ini harus bisa ditangkap oleh seorang guru, sehingga bisa membantu peserta didik untuk bisa berkembang sesuai bakat dan kemampuannya secara maksimal.
Untuk mewujudkan melaksanakan hal tersebut tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak tantangan dan hambatan yang harus dilalui. Terutama bagi guru yang jumlah peserta didiknya dalam kelas lebih dari tiga puluh anak. Hal semacam itu dapat menguji kesabaran guru karena sulitnya dalam menguasai kelas.
Namun semua pengalaman ini membuatku semakin matang dan lebih paham bagaimana seharusnya menjadi seorang guru. Apalagi setelah aku mengikuti Program Pendidikan Guru Penggerak, semakin banyak ilmu yang bisa diterapkan di sekolah, baik untuk siswa, rekan guru, maupun pengembangan sekolah.
Sesuai ilmu yang aku dapat di Program Guru Penggerak, bahwa seorang guru harus selalu berpikir dan mampu berinovasi untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan bermakna termasuk dapat mengakomodir bakat dan kemampuan peserta didik; mampu menjadikan anak sebagai pelajar yang merdeka, mendapatkan kesejahteraan setinggi-tingginya sesuai filosofi Ki Hajar Dewantara. Karena itulah istilah belajar sepanjang hayat itu bukan hanya untuk peserta didik, namun juga untuk pendidik.
Saat ini, aku sangat menikmati peranku sebagai seorang guru, menjadi orang tua kedua bagi siswaku di sekolah. Semakin berbeda karakteristik siswa, semakin kaya pengalaman yang aku dapatkan. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud