Oleh Suherti
Guru di SMP Negeri 90 Jakarta
Tak pernah terbayang ini akan terjadi. Pandemi benar-benar mengubah hari-hariku sebagai guru. Sejak pandemi, saya sebagai guru dituntut lebih kreatif dan inovatif agar pembelajaran daring tetap menarik buat peserta didik.
Dulu, malam-malam yang saya lalui relatif tenang. Sebelum tidur saya siapkan materi untuk mengajar besok. Pagi saya bangun subuh. Lalu menyiapkan semua keperluan untuk mengajar. Sebelum kokok ayam jantan berakhir, saya bergegas ke stasiun Bekasi mengejar kereta pertama yang mengantar saya ke Klender tempat saya mengajar.
Tapi itu dulu. Hampir dua tahun yang lalu, sebelum pandemi datang dan menjajah hidup kita. Maret 2020 tepatnya, nyaris semua sekolah di DKI Jakarta terpaksa menggelar pembelajaran secara daring dengan memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajarannya.
Bagai jamur di musim hujan, aplikasi pembelajaran daring banyak ditawarkan mulai yang gratis hingga yang berbayar. Begitu juga dengan pelatihan online banyak bermunculan yang menawarkan berbagai macam materi dalam mempersiapkan pembelajaran secara daring.
Tidak hanya siswa, bahkan orang tua dan guru pun harus mampu beradaptasi dengan sistem pembelajaran yang baru ini.
Sistem ini awalnya dianggap solusi praktis agar pembelajaran di sekolah tidak terhenti. Siswa harus rela duduk berjam-jam di depan laptop atau belajar dengan ponsel di rumahnya. Orang tua harus menyediakan kuota internet, laptop ataupun ponsel pintar sebagai alat belajar anak-anaknya. Dan guru pun harus mempersiapkan materi yang dikemas untuk pembelajaran daring.
Belakangan, banyak suara-suara yang mempertanyakan efektivitas pembelajaran virtual dan dampak psikologisnya terhadap siswa dan guru. Mulai bermunculan masalah tidak terpenuhinya tuntutan pembelajaran daring. Pasalnya, tidak semua guru siap menggelar pembelajaran daring karena tidak punya laptop, HP, jaringan internet, atau karena gaptek (gagap teknologi).
Mentransfer materi pembelajaran secara daring memang tidak mudah karena kurikulum tetap mengacu pada pembelajaran tatap muka. Selain itu, tidak semua orang tua mampu menyediakan HP/laptop atau kuota internet untuk anak-anaknya sehingga siswa tidak bisa mengikuti pembelajaran daring.
Dua bulan pertama mulai terasa dampak pembelajaran daring, guru stres karena gaptek dan belum punya cara efektif untuk mengajar daring. Orang tua juga ikut stres karena harus menanggung biaya pembelajaran berbasis internet yang tidak murah. Demikian juga dengan siswa, stres karena tidak dapat bertemu teman, tidak dapat menangkap pelajaran dengan baik, dan lain sebagainya.
Pembelajaran daring memang ada positifnya yakni bisa menjawab tantangan pembelajaran di pandemi, membuat setiap individu mampu beraktivitas secara mandiri dalam memanfaatkan teknologi. Namun masih banyak hal yang perlu disiapkan untuk menerapkannya. Di antaranya adalah kemampuan dasar guru dalam penguasaan IT agar dapat menciptakan kesenjangan dalam mencapai target pembelajaran.
Ketika pandemi mulai mereda, saat ini pembelajaran tatap muka secara terbatas mulai lebih intens diberlakukan dengan berbagai persiapan dan memenuhi protokol kesehatan yang sangat ketat. Ini cukup untuk sedikit mengobati rasa rindu bersekolah.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!