Indonesia sudah merdeka selama 73 tahun sebentar lagi 74 tahun. Akan tetapi bukan berarti masalah pendidikan di Indonesia sudah ‘merdeka’. Sampai saat ini masalah pendidikan di Indonesia masih belum teratasi dengan baik. Selain kualitas sumber daya manusia dan penyediaan sarana prasarana fisik yang belum memadai, masalah krusial utama dalam bidang pendidikan adalah pendekatan dalam implementasi pendidikan.
Implementasi pendidikan formal masih menekankan (subject matter centered) yakni adanya kurikulum yang terdiri atas mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang cenderung memaksakan kurikulum yang telah disusun secara nasional. Pendekatan ini lebih mementingkan makin banyaknya materi yang dipelajari, dengan harapan siswa menjadi semakin cerdas dan dianggap semakin baik hasilnya. Hal ini berakibat terlalu banyaknya materi yang perlu disampaikan atau dibebankan kepada siswa. Dengan demikian, pendekatan pendidikan yang diimplementasikan di Indonesia masih banyak berorientasi pada kognitif semata.
Penerapan pendekatan kognitif pada dunia pendidikan bukanlah suatu hal yang salah. Namun, jika tanpa disertai dengan pendekatan-pendekatan yang lain, maka hal tersebut berakibat buruk pada diri siswa terutama pada outputnya.
Pada pendekatan yang digunakan saat ini, terutama implementasi subject matter centered, menganggap semua individu (siswa) adalah sama. Padahal isi materi atau kurikulum yang disusun secara nasional belum tentu sesuai dengan kondisi dan kebutuhan siswa secara komprehensif. Apalagi dalam implementasinya, seringkali kondisi, kebutuhan, potensi dan permasalahan siswa kurang diperhatikan, atau bahkan diabaikan. Hal ini berdampak buruk bagi siswa, yakni potensi dan kebutuhan siswa kurang atau tidak dikembangkan. Sehingga siswa dapat berpersepsi gagal dalam mengenyam pendidikan dan menganggap pendidikan tidak bermakna karena tidak menyentuh pada kondisi, potensi, dan kebutuhannya.
Kedua, dampak dari subject matter centered adalah terlalu banyaknya isi kurikulum sehingga praktik pembelajaran menjadi terlalu padat. Siswa dianggap sebagai ‘botol kosong’ yang perlu diisi, bahkan sampai tumpah. Akibatnya guru harus lebih aktif agar dapat menyelesaikan sebaran isi kurikulum, dan siswa hanya menjadi pendengar. Hal ini menciptakan manusia (siswa) sebagai pendengar, peniru, dan tidak mengembangkan potensi. Dan kreativitas siswa pun tidak tersentuh dalam pembelajaran.
Ketiga, dalam pendekatan kognitif, evaluasi hasil pendidikan hanya berdasar keterkaitannya dengan penguasaan isi kurikulum belaka. Mengevaluasi siswa semata-mata berdasarkan bakat dan prestasi akademiknya saja sama halnya dengan mengabaikan eksistensi siswa sebagai manusia.
Tentu saja, dampak buruk implementasi pendidikan perlu segera diatasi. Lalu, pendekatan yang bagaimana perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia?
Pendekatan Humanistik
Salah satu ciri khas pendekatan humanistik dalam pendidikan adalah berpusatnya siswa sebagai subjek belajar dan diperhatikannya kondisi internal siswa. Sebagai subjek belajar, siswa dirancang untuk melakukan dan memiliki pengalaman berbagai aktivitas belajar. Kondisi internal siswa yang perlu mendapat perhatian adalah berupa motivasi belajar, minat dan bakat, tingkat intelegensi, ketekunan, serta pengetahuan atau pengalaman belajar yang telah dimilikinya.
Jika dalam pembelajaran kondisi internal siswa mendapat perhatian yang cukup, maka siswa juga akan merasa mendapat pembelajaran yang bermakna bagi dirinya. Inilah salah satu cerminan implementasi pendidikan dengan pendekatan humanistik. Selain mengimplementasikan ranah afektif, perlu dipahami bahwa pendekatan humanistik dalam pendidikan juga menekankan ranah kognitif maupun konatif.
Pendidik dalam pendekatan humanistik lebih berperan sebagai fasilitator dan pembimbing dalam membantu dan membangun konsep diri maupun jati diri siswa. Dalam proses pembelajaran, siswa diberi pengalaman belajar, diakui, diterima, diperhatikan dan bahkan dihargai segala upaya belajar beserta keberhasilannya. Dengan demikian siswa menjadi berpersepsi optimis untuk meraih sukses pada hasil belajarnya maupun masa depannya kelak.
Berkaitan dengan hal tersebut, pendidik juga berkewajiban untuk mengembangkan konsep diri positif siswanya, sehingga siswa dapat menghadapi tantangan yang semakin kompetitif dengan rasa percaya diri, mandiri, dan tidak mudah berputus asa. Konsep diri positif inilah yang dibutuhkan dalam membangun kepribadian dan berpengaruh terhadap perilaku individu.
Pendekatan humanistik juga menyentuh perkembangan moral maupun nilai-nilai yang berkembang di lingkungan siswa. Hal ini dianggap penting karena siswa dalam perjalanan hidupnya selalu berusaha mengembangkan sikap dan nilai-nilai yang diyakininya. Oleh karena itu,
adalah tugas pendidik untuk membantu siswa dalam mengembangkan proses-proses yang dipakai dalam menentukan nilai-nilai yang diyakininya secara tepat. Dalam hal ini pendidik perlu bersikap terbuka dan menerima pendapat siswa serta membantunya dalam mewujudkan pandangan maupun nilai-nilai tersebut.
Terwujudnya perkembangan potensi, bakat dan minat siswa selama belajar akan membangun konsep diri dan menunjang kesehatan mentalnya. Dengan demikian, pendidikan perlu memberi kesempatan dan memfasilitasi berkembangnya potensi, bakat dan minat siswa; bukan hanya memperhatikan potensi akademik siswa semata.
Hal yang juga dirasa penting dalam dunia pendidikan adalah perlunya pendidik memahami bahwa siswa pada hakikatnya sebagai individu yang berpotensi untuk kreatif. Aktivitas siswa yang kreatif akan membantu tumbuhnya konsep diri positif sesuai tugas perkembangannya (development task). Sebaliknya, jika siswa tidak memiliki kesempatan untuk menyalurkan kreativitasnya maka akan menurunkan potensi dirinya, bahkan merugikan bagi kesehatan mentalnya.
Pengembangan kemampuan kreativitas inilah yang akan mendukung tercapainya kesuksesan hidup siswa di masa depannya kelak. Hal ini sesuai pendapat A Maslow (Soesilo, 2014) bahwa tidak mungkin individu dapat mengaktualisasikan dirinya secara optimal jika ia tidak kreatif. Oleh karena itu, salah satu tugas utama pendidik adalah menggali dan mengembangkan kemampuan kreativitas siswanya.
Sudah saatnya bangsa Indonesia memiliki pendidikan yang tidak hanya mementingkan pendekatan kognitif, tetapi terbuka terhadap pendekatan humanistik. Pengubahan paradigma yang menekankan keberhasilan akademik ke arah penekanan keberhasilan potensi, bakat, minat dan kreativitas siswa, merupakan salah satu reformasi dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan, pendekatan humanistik perlu diberi kesempatan yang luas dalam implementasi pendidikan sehingga dapat mendukung tercapainya potensi, bakat dan minat siswa, serta berkembangnya kreativitas siswa.
Mampukah pemangku kebijakan dan praktisi pendidikan mewujudkannya?
Semoga saja!
Penulis: Nur Kholistiyawatin, S.Pd, Guru SMK Negeri 1 Merbau