Oleh Susyati, S.Pd
Guru di MTs Negeri 3 Cilacap
Layaknya anak-anak lain, ketika aku sudah cukup umur untuk masuk sekolah, aku pun disekolahkan oleh orang tuaku. Aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Iman Sarwadadi, di mana ayahku menjadi guru di sana. Sekolah tersebut cukup jauh dengan tempat tinggalku, karena beda desa. Desa ini masuknya wilayah Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.Waktu itu belum ada sekolah TK di desaku, makanya aku langsung dimasukkan ke MI yaitu sekolah setingkat dengan Sekolah Dasar (SD).
Di MI Al-Iman Sarwadadi hanya sampai kelas 3, karena ayahku diangkat menjadi Kadus. Aku pun dipindah ke sekolah yang lebih dekat dengan rumah. Aku pindah ke MI Al-Hikmah Tegalsari dan langsung masuk kelas 4.
Lulus dari MI kemudian masuk ke SMP Pemda Kawunganten. Tiga tahun kemudian lanjut ke jenjang SLTA. Kala itu di tempat tinggalku belum ada sekolah tingkat SLTA, maka orang tuaku membawaku ke kota Purwokerto. Awalnya mau dimasukan ke Sekolah Perawat. Namun setelah membaca pengumuman, ternyata aku tidak memenuhi syarat yang ditentukan, tinggi dan berat badanku masih kurang.
Gagal masuk Sekolah Perawat, aku didaftarkan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Muhammadiyah Purwokerto. Ternyata di situ juga tidak diterima. Akhirnya aku mendaftar di sekolah swasta yaitu di Sekolah Menengah Ekonomi Atas (SMEA) Purwokerto.
Ketika penjurusan, aku ingin ambil jurusan Administrasi Perkantoran. Namun ternyata jurusan yang ada hanya Tata Buku dan Tata Niaga. Maka aku pilih mengambil jurusan Tata Niaga. Aku masuk SMEA tahun 1980 dan lulus tahun 1983.
Lulus Sekolah dan Pulang Kampung
Beberapa bulan setelah berada di rumah dengan mengantongi ijazah SLTA, aku didatangi oleh saudara sepupu, di mana dia adalah seorang guru honorer di Madrasah Ibtidaiyah Al-Hikmah tempat aku sekolah dulu. Beliau bilang disuruh Kepala Madrasah untuk mengajakmu ikut wiyata bhakti di sekolah tersebut.
Tentu saja aku kaget sekaligus terharu, juga bingung. Sebab aku merasa masih kurang mampu. Aku pun tidak menyanggupi tawaran tersebut. Namun beberapa bulan kemudian, Kepala Madrasah (Bapak Minin Subandi) langsung menemuiku di rumah dan bercerita panjang lebar yang intinya mengajak bergabung untuk bekerja sebagai tenaga honorer di Madrasah Ibtidaiyah yang beliau pimpin.
Beliau juga memberi wejangan bahwa orang yang telah mendapat ilmu sebaiknya ditularkan, dibagikan kepada sesama. Jadi ilmu itu akan bermanfaat jika dibagikan kepada orang lain. Sebagaimana pepatah mengatakan bahwa “Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah.”
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan dan dukungan orang tua, aku menerima tawaran tersebut. Dan esok harinya aku datang ke sekolah untuk menyatakan kesediaan menjadi tenaga wiyata bhakti sebagai guru honorer.
Awal Menjadi Guru
Saat tiba tahun ajaran baru, aku sudah mulai bekerja di madrasah. Aku mengajar mengajar di kelas IV. Karena tingkatan MI adalah guru kelas, otomatis aku harus mengajar semua mata pelajaran, kecuali pelajaran agama yang dipegang oleh guru agama.
Mengajar anak kelas IV menuntut kesabaran tinggi, terlebih aku baru belajar menghadapi anak-anak. Tentu saja harus menata hati, menata pola pikir, beradaptasi dengan anak-anak yang memiliki berbagai karakter dan tingkat kecerdasan yang berbeda. Bagaimana cara mampu mengendalikan diri saat dibuat marah oleh anak-anak, merupakan sebuah tantangan berat bagi aku yang masih pemula dalam melaksanakan tugas sebagai guru. Hal ini aku jalani sampai di penghujung tahun untuk mengantar mereka naik kelas.
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Hikmah berada di bawah naungan Yayasan yang bernama Al Hikmah. Seiring berjalannya waktu Yayasan Al-Hikmah mengembangkan sayap mendirikan Madrasah Ibtidaiyah lagi di lain grumbul—masih dalam satu dusun yaitu di dusun Tegalsari, hanya saja berada di lain RW.
MI yang baru berdiri diberi nama Al-HIkmah 2 Tegalsari, sedangkan MI lama menjadi Al Hikmah 1. Jadi Yayasan Al-Hikmah membawahi 2 MI yaitu MI Al Hikmah 1 dan MI Al Hikmah 2.
Dengan berdirinya MI Al-Hikmah 2 Tegalsari, aku dipindah tugaskan di MI Al-Hikmah 2, yang kebetulan tidak jauh dari tempat tinggalku. Kira-kira hanya berjarak 150 M dari rumah.
Di MI yang baru, tentu belum ada kelas lain selain kelas 1 yang berjumlah belasan siswa waktu itu. Aku memegang kelas 1. Dan tantangannya lebih berat lagi karena di sini benar-benar mengawali segalanya. Namun mengajar kelas 1 lebih menyenangkan karena anak-anaknya lucu dan menggemaskan. Ada beberapa anak yang masih ingusan, tapi itulah suka dukanya mengajar anak-anak.
Aku dituntut sabar dan telaten dalam membimbing mereka agar bisa baca tulis dan melek pengetahuan.
Dibukanya lembaga pendidikan baru Madrasah Tsanawiyah oleh Yayasan Al-Hikmah membuat aku mengabdi sebagai guru honorer. Madrasah Tsanawiyah tersebut dibuka tahun 1985 dan menempati gedung Madrasah Ibtidaiyah. Aku mengampu pelajaran IPS.
Madrasah Tsanawiyah ini juga dinamakan Al-Hikmah, jadi kedua Madrasah baik Madrasah Ibtidaiyah (MI) maupun Madrasah Tsanawihah (MTs) bernama Al-Hikmah. Karena keduanya bernaung di bawah payung Yayasan Al-Hikmah.
Alhamdulillah, mendapat respon positif dari masyarakat. Terbukti awal dibuka mendapat 3 rombel kelas. Seiring waktu berkembangnya Madrasah Tsanawiyah Al-Hikmah, maka aku lepas sebagai guru honorer di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Fokus di MTs Al-Hikmah, bukan sebagai pengajar lagi akan tetapi sebagai Tenaga Administrasi (Tata Usaha). Dan status MTs berubah menjadi negeri pada tahun 1995, tepatnya pada 25 November. Dan resmi berubah menjadi MTs Negeri Kawunganten.
Gagal Melepas Predikat Honorer
Mengingat aku hanya lulusan SLTA, bagaikan pungguk merindukan bulan untuk bisa bersaing dalam tes CPNS. Bukannya aku tidak mau berjuang ikut dalam kancah tersebut, namun tidak ada formasi untuk pegawai di Departemen Agama saat itu. Hingga bertahun-tahun tetap menjadi honorer.
Beberapa tahun kemudian ada pendaftaran CPNS, di dalamnya ada formasi untuk pegawai. Namun karena pendaftar begitu banyak, sedangkan formasi yang dibutuhkan sedikit, aku pun gagal lolos.
Kemudian ada sebuah perguruan tinggi membuka kelas jauh yang dinamakan dengan program ekstensi dengan jurusan PPKn. Program tersebut bisa diikuti oleh orang-orang yang sudah bekerja. Aku pun ikut mendaftar, tentunya dengan dukungan orang tua dan seizin Kepala Madrasah. Kebetulan tempat perkuliahannya cukup dekat dengan jarak tempuh kurang lebih satu jam perjalanan.
Mengikuti perkuliahan ini pun tidak berjalan mulus. Banyak mahasiswa yang ternyata nunggak dengan biaya perkuliahannya. Sehingga pengurus merasa keberatan menanggung biaya transportasi dan akomodasi untuk mendatangkan dosen tiap pekan.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya diputuskan mahasiswa harus datang langsung ke Universitas induk yang terletak di kota Yogyakarta. Lebih tepatnya Universitas Cokroaminoto, yang beralamat di Jl. Perintis Kemerdekaan Yogyakarta.
Maka aku setiap hari Jumat sore berangkat ke Yogyakarta dan pulang Minggu sore. Senin paginya jam 07.00 WIB sudah harus berada di kantor lagi. Demikian seterusnya sampai berjalan hampir 4 tahun.
Tanpa terasa dengan berjalan waktu, akhirnya sampai juga di penghujung jalan. Di tahun 2003, aku mengikuti resepsi Wisuda Sarjana di sebuah gedung hotel kawasan Yogyakarta. Rasa senang dan bahagia bisa mengantongi Ijazah S-1.
Atas kebijakan Kepala Madrasah, Bapak H. Kodrat Nachrowi, M.Pd.I—karena aku sudah memiliki SIM (Surat Izin Mengajar) dengan ditandai ijazah S1 lulus 2003—di samping sebagai tenaga administrasi, aku juga dikasih tugas sebagai guru Bimbingan dan Konseling. Hal ini berjalan bertahun-tahun di mana aku merangkap jabatan sebagai guru dan juga sebagai tenaga Tata Usaha.
Di tahun 2010 datang pegawai baru sebagai Kepala Tata Usaha definitif, maka aku sepenuhnya sebagai guru mata pelajaran PPKn dan diberi tugas tambahan sebagai Kepala Perpustakaan. Kemudian aku mendapat panggilan mengikuti PLPG pada tahun 2011 dan lulus mendapat Sertifikat Pendidik.
Diangkat Menjadi PNS
Saat Kepala Madrasah dipegang oleh Drs. H. Moh. Wahyudin, M.Pd.I, ada pendataan tenaga honorer. Hal itu berdasarkan SE No.05 Tahun 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah, PP No.48 Tahun 2005 dan telah diubah menjadi PP No. 43 Tahun 2007, Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Perekrutan guru honorer menjadi PNG awalnya untuk kategori K1 yang memiliki SK secara terus menerus di Sekolah Negeri dari tahun 2005. Karena sesuatu hal, kategori K1 ditiadakan (dihapus) menjadi kategori K2. Akhirnya pada tahun 2014 aku masuk dalam kategori K2 dan mengikuti pemberkasan ulang. Setelah menunggu hampir 2 tahun, aku menerima SK dan diangkat menjadi PNS, yang terhitung memiliki masa kerja 10 tahun 4 bulan.
Setelah diangkat menjadi PNS, aku tetap ditugaskan di MTs Negeri Kawunganten yang kini berubah nama menjadi MTs Negeri 3 Cilacap.
Menjadi guru seperti sekarang ini sebenarnya tidak pernah terbesit dalam benakku. Makanya ketika sekolah pun tidak mengambil di jurusan keguruan, walaupun pernah mendaftar di Sekolah Pendidikan Guru. Sekolah di keguruan hanya sebuah alternatif. Pilihan utamanya adalah perawat. Menurut orang tuaku, ketika lulus sekolah perawat bisa langsung kerja.
Adapun akhirnya menjadi guru, awalnya adalah sebuah tawaran yang sulit aku tolak, karena rasa hormat kepada Kepala Madrasah. Dan Allah SWT yang memilihkan jalan ini dan menuntun aku untuk melalui lika-likunya.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”