Selaku seseorang putera asli dari kaum Dawan, saya merasa cemas bila mengikuti perkembangan adat- istiadat sifon saat ini, khususnya di desa Fatumnasi. Hampir seluruh pria muda menjalankan adat sifon sampai saat ini. Persoalan yang terjadi adalah para kaum pria tersebut ketika menjalani sifon belum memahami tentang apa akibat dari sifon tersebut.
Sifon ialah acara ritual terakhir bagi kamu pria yang sudah dipotong kulit khatannya. Seorang pria yang sudah waktunya menjalani ritual sifon wajib menjalani tahapan-tahapan tertentu.
Berdasarkan penjelasan para laki-laki kaum Dawan yang sudah dipotong kulit khatannya, saat akan melakukan ritual tersebut, mereka datang dan bertemu dengan ‘dokter’ desa (ahelet). Para pria tersebut akan ditanya oleh ahelet: “Apakah kamu sudah tidur dengan perempuan?”
Pertanyaan seperti itu memang penting karena dalam seremoni pemotongan kulit khatan, agar bisa dilaksanakan sebelumnya harus melakukan hubungan intim dengan wanita.
Setelah itu, ahelet akan menyiapkan seluruh perlengkapan yang dipakai buat memotong kulit khatan. Perlengkapannya berupa alat semacam pisau silet dan bambu spesial yang telah dibuat tajam.
Bila seluruh perlengkapan sudah siap, ahelet akan mengajak menuju air yang mengalir. Di air yang mengalir tersebut, ahelet melaksanakan pemotongan kulit khatan.
Sebelum pemotongan dilakukan, pria yang menjalani ritual tersebut harus memilih sejumlah batu. Dalam bahasa Dawan disebut dengan “Nain Fatu.“ Kemudian ahelet mulai melaksanakan ritual potong kulit khatan.
Ahelet sekali lagi sebelum melakukan pemotongan, akan bertanya dan memberikan perintah: “Apakah sepanjang hidup ini, Anda sempat melakukan seks dengan wanita, yang memiliki suami? Ambil batu dan letakkan di tangan!”
Bila pada saat proses pemotongan kulit khatan dan masih ada darah yang mengalir dalam air mengalir, ini menunjukkan bahwa orang yang bersangkutan belum berkata secara jujur; tidak mengungkapkan secara benar berapa orang wanita yang telah dijadikan korban hubungan intim. Darah akan berhenti mengalir bila pria tersebut sudah mengakui secara jujur semua yang dilakukan pada masa yang lalu.
Setelah empat hari setelah ritual pemotongan kulit khatan, maka akan terjadi pembengkakan pada sisa kulit khatan yang dipotong. Bila dibandingkan dengan pemotongan kulit khatan dengan cara medis hasilnya beda di mana biasanya pada hari ke-4 kulit khatan sudah dalam kondisi yang baik. Tetapi dalam adat- istiadat sifon, pada hari ke-4 justru terjadi pembengkakan.
Menurut mereka yang sudah melaksanakan ritual sifon, pada hari ke-4 kulit katan membesar sebesar buah tomat. Hal ini berarti sudah waktunya supaya laki- laki tersebut mencari korban sifon.
Korban sifon umumnya merupakan orang-orang yang telah biasa melaksanakan adat sifon. Tetapi tidak sedikit korban sifon juga merupakan orang yang tidak tahu terkait hal adat-istiadat sifon. Bahkan terdapat ibu-ibu yang masa depannya terenggut sebab adat tersebut.
Kenapa sifon wajib dijalani? Berdasarkan sebuah riset, ritual tersebut bermaksud untuk membuang ‘panas’ supaya alat intim laki- laki kembali berperan dengan bagus. Apabila sifon telah dilakukan, kaum laki-laki meyakini bahwa hubungan tersebut menjadi obat untuk kesembuhan dan keperkasaan alat intimnya.
Pelaksanaan sifon tanpa disadari para laki-laki Dawan dapat menyebabkan diri mereka memiliki virus HIV/AIDS. Sebab jika para pria berjumpa dengan wanita-wanita yang rutin menerima pasien sifon, maka jadilah penyebaran penyakit kelamin. Tentu ini sangat memprihatinkan.
Ritual sifon perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak sehingga dapat menekan lajunya penyebaran penyakit kelamin. Melalui tulisan ini, kiranya ada kerja sama dari berbagai pihak sehingga saling membahu untuk memberikan penyadaran kepada pria Dawan terutama di desa Fatumnasi.
Ditulis oleh Dr. Johan Biaf (Dosen di Institut Kristen Borneo)