Oleh Thomas Maman, S.Fil
Mengajar di SMPN 1 Buyasuri
Merasakan situasi kehidupan yang diliputi dengan kemiskinan, serba kekurangan, dan keterpurukan dalam keluarga saya, sejak duduk di kelas 5 Sekolah Dasar (SD), saya berkeinginan setelah tamat SD nanti akan merantau ke Malaysia untuk bekerja dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Kemudian kembali lagi untuk memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga saya. Pada saat itu sudah menjadi tren bahwa setiap orang yang merantau ke Malaysia pasti akan kembali membawa uang untuk membangun rumah dan mengalami peningkatan ekonomi.
Namun kemudian di tahun terakhir menjelang tamat SD, pikiran saya berubah karena arahan dari guru. Saya dipaksa harus melanjutkan sekolah. Saya pun melanjutkan sekolah ke salah satu SMP Negeri yang jaraknya cukup jauh dari desa saya, kurang lebih 10 KM. Sebab jarak yang cukup jauh tersebut, saya pindah tinggal di rumah famili yang ada di sekitar sekolah.
Ketika menjalani pendidikan di SMP kurang lebih satu tahun, sebelum ujian naik kelas, saya jatuh sakit. Sakit berat menimpa saya yang membutuhkan waktu pengobatan cukup lama. Istirahat total berbulan-bulan yang pada akhirnya membuat putus sekolah.
Ketika sudah sembuh pada tahun pelajaran baru di tahun berikutnya, saya kembali mendaftar di sebuah SMP swasta. Jaraknya cukup dekat dengan desa tempat tinggal saya, berjarak sekitar 2 KM sehingga bisa pulang pergi ke sekolah tiap hari dari rumah sendiri.
Pada ujian akhir menjelang naik kelas tiga, saya diajak oleh bapak untuk pindah sekolah di ibu kota provinsi di sekitar tempat tinggalnya. Pasti senang karena bisa sekolah di perkotaan.
Tapi bersama berjalannya waktu, kurang lebih selama dua bulan setelah tinggal di kota, tepatnya setelah Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus, saya diam-diam pulang ke desa tanpa sepengetahuan bapak. Alasannya sangat sederhana, ternyata sulit memenuhi kebutuhan hidup di kota.
Saya pun kembali masuk SMP swasta tempat saya sekolah sebelumnya. Beruntungnya, setelah memohon dengan sangat, dapat diterima kembali.
Setelah ujian akhir SMP (Ebtanas) saya mendaftar di SLTA keagamaan, sebuah lembaga pendidikan calon imam. Puji Tuhan, lamaran diterima. Pada waktunya, saya pun mulai masuk di asrama untuk menjalani pendidikan di lembaga pendidikan calon imam tersebut.
Di lembaga pendidikan tersebut, pada tahun pertama disebut Kelas Persiapan Bawah (KPB). Baru di tahun berikut memasuki jenjang kelas I, II, dan III. Tak berselang lama ketika masih berada di KPB yakni ketika hendak ujian akhir untuk naik ke kelas satu, saya mengalami jatuh sakit lagi. Sakit berat lagi. Setelah menjalani perawatan selama dua minggu lebih di sebuah rumah sakit swasta ternama di Flores, saya direkomendasikan oleh dokter asal Filipina untuk istirahat total selama satu tahun.
Oleh sebab itu, setelah pulang dari rumah sakit, saya langsung mengemasi barang-barang di asrama, gulung tikar, dan selanjutnya kembali ke rumah. Rekomendasi dokter memang meminta saya istirahat total selama satu tahun. Namun kemudian saya menambahkan istirahat total selama satu tahun lagi, sehingga total istirahat tanpa aktivitas berat menjadi dua tahun.
Setelah sembuh, saya pun berkeinginan untuk melanjutkan sekolah lagi. Pada tahun pelajaran baru, saya daftar di sebuah SMU swasta di ibu kota kabupaten. Ketika teman seangkatan SMP sudah menamatkan pendidikan SLTA, saya baru mulai menjalani mengenyam pendidikan di SLTA.
Semua berjalan lancar pada tahun pertama dan kedua. Namun ketika hendak naik ke kelas tiga, saya jatuh sakit lagi. Istirahat lagi. Berhenti sekolah lagi.
Di tahun pelajaran baru, saya diajak lagi oleh bapak untuk kembali ke kota dan melanjutkan di SMU. Meskipun berat hidup di kota dan banyak situasi dan pengalaman yang tidak menyenangkan, namun akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan SLTA.
Setelah menamatkan sekolah SMU, saya daftar ke sebuah lembaga pendidikan tinggi keagamaan calon imam. Saya diterima oleh lembaga pendidikan tersebut. Di tahun pertama adalah masa orientasi, baru di tahun kedua dan ketiga masuk kuliah. Selanjutnya ada masa satu tahun untuk mengikuti tahun rohani (novisiat). Pada tahun rohani tersebut, saya mengambil keputusan untuk keluar. Jadi di tahun keempat, saya melanjutkan perkuliahan tetapi bukan sebagai mahasiswa calon imam, namun sebagai mahasiswa eksteren. Tepatnya pada bulan September tahun 2004, saya diwisuda sebagai Sarjana Filsafat.
Usai studi di perguruan tinggi, saya kembali ke kampung. Saat itu kesempatan bekerja sangat banyak, tinggil pilih asal tidak diam di rumah saja. Pada awal tahun 2005, saya diminta untuk membantu mengajar di sekolah dasar di desa saya karena sekolah tersebut hanya mempunyai empat orang guru. Semantara jumlah siswa mulai dari kelas satu sampai kelas enam cukup banyak waktu itu. Dalam satu kelas ada yang belasan anak sampai tiga puluhan anak.
Awalnya, mengajar di SD saya rasakan sangat berat. Sebab harus berkomunikasi dengan anak-anak dengan menggunakan bahasa yang sesederhana mungkin. Namun begitu, saya menjalani hari-hari kerja tanpa banyak mengeluh. Rasanya senang juga bisa disapa Bapak Guru oleh anak-anak sekolah dan oleh masyarakat di kampung.
Saya melanjutkan pekerjaan tersebut dengan upah per tiga bulan sekitar 100 ribu rupiah, itu kalau sekolah punya kas. Walaupun tidak ada upah, saya tetap santai karena tinggal di kampung sendiri yang tidak membutuhkan biaya kos dan lain-lain. Waktu itu saya masih tinggal di rumah dengan orang tua.
Mulai tahun 2009, saya mulai mengajar di SMPN 1 Buyasuri hingga sekarang. Dan di 2015 melalui Seleksi Tenaga Honorer Kategori 2, saya diangkat menjadi CPNS dan sekarang sudah jadi PNS setelah pemberkasan pada 2012-2013 lalu.
Begitulah jatuh bangun, susah senang, yang pernah saya alami dalam hidup ini. Baik saat menjadi seorang guru honorer atau menjadi guru pegawai negeri, seluruhnya sangat saya nikmati.