Sunyiati: Guru TK “Montor-Montor Cilik” di Jogja hingga Jadi Guru PNS di Sumatera

- Editor

Sabtu, 24 Desember 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Sunyiati, SPd.SD

Mengajar di SDN 44 Bengkulu Tengah, Bengkulu

 

Waktu saya masih kecil belum waktunya masuk sekolah, saya sering diajak silaturahmi bahkan sering menginap di rumah Pakde, kakak dari ibu. Pakde adalah guru agama Islam dan Bude guru pelajaran umum. Setiap pagi, mereka pergi ke sekolah untuk mengajar dan pulangnya siang hari. Saya sering diajak Bude ikut ke sekolah. Sambil bermain, saya melihat Bude mengajar di kelas tiga.

Saat usia saya genap tujuh tahun, saya didaftarkan sekolah. Sampai menginjak kelas dua, saya masih main ikut Bude, dan melihatnya mengajar. Dari situlah saya mulai memiliki cita-cita ingin jadi guru. 

Saya lahir tahun 1965 di daerah Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Keluarga saya adalah keluarga yang sederhana. Orang tua seorang petani dan saya anak sulung dari lima bersaudara. Tiap kali pulang sekolah, ibu dan bapak berangkat ke sawah. Saya disuruh mengasuh keempat adikku.

Kawan-kawanku banyak dan sering main di rumah untuk main. Kadang main masak-masakan, main sekolah-sekolahan, dan lain-lain. Ketika main sekolah-sekolahan, seringkali saya yang menjadi gurunya. Kami mencari daun pisang yang disusun menjadi beberapa lembar yang disemat menggunakan batang lidi sepanjang kira-kira satu jengkal. 

Kemudian “buku” itu saya bagikan kepada teman-teman dan adik-adik. Penanya juga terbuat dari lidi untuk menulis. Kami pun menyanyi, bermain, belajar dengan riang gembira. Jika sudah selesai, buku yang terbuat dari daun pisang itu harus dikumpulkan untuk dinilai. Apa yang teman-teman tulis tidak tentu, ada yang cuma goresan saja. Waktu kecil itu memang yang sangat indah dan berkesan sekali. 

Setelah tamat dari SD, saya melanjutkan ke Sekolah Menengah  Pertama (SMP) Muhammadiyah di daerah Pleret. Jarak antara rumah dan sekolah kira-kira 5 KM. Berangkat ke sekolah ikut bonceng teman yang dekat rumahku. Kadang juga jalan kaki, berangkat pagi pukul 05.30 WIB. 

Setiap pulang sekolah, sesudah makan dan sholat, lanjut berangkat ke sawah. Sebagian lahan sawah milik keluarga digunakan untuk produksi batu bata. Dan saya datang untuk membantu membuat batu bata tersebut, di bawah terik matahari.  Bila sudah agak kering, batu bata disisik pinggirannya agar rapi. Kemudian disusun sedemikian rupa untuk menatanya. 

Setiap dapat cetakan sepuluh ribu bata, bapak menyusunnya untuk persiapan  dibakar. Proses pembuatannya membutuhkan waktu 5 sampai 7 hari hingga jadi. 

Suatu hari, batu bata tersebut dibeli orang. Hatiku jadi riang sekali karena bapak sudah berjanji kalau dagangannya laku mau membelikan untuk kami sepeda baru. Dan sisanya untuk bayar sekolah. Dengan sepeda baru itu yang membuatku tambah semangat belajar dan juga lebih giat membantu orang tua di sawah maupun di rumah.

Tamat SMP, saya melanjutkan sekolah yang menjurus menjadi guru. Akhirnya saya mendaftar di empat sekolah SPG, yakni di SPGN 1 Yogyakarta, SPGN 2 Yogyakarta, SPG Muhammadiyah Putri 3 Yogyakarta, dan SPG Muhammadiyah Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Akhirnya saya diterima di SPG Muhammadiyah Imogiri yang lokasinya tidak jauh dari Pajimatan yang  terkenal dengan makam raja–raja Jogja dan Solo. 

Jarak dari rumah menuju ke sekolah kurang lebih 20 KM. Karena jauh, pagi pukul 06.00 WIB, saya sudah harus berangkat. Meskipun jauh, seringkali saya tidak membawa uang saku dan tidak sarapan. Yang terpenting bagiku adalah bisa sekolah. 

Setiap pulang sekolah, masih sama seperti waktu SMP, saya tetap menolong kedua orang tua di sawah untuk membuat batu bata. Sebab untuk bisa sekolah tentu butuh biaya. Apalagi adik-adikku juga sudah mulai masuk sekolah. 

Menginjak kelas 2 di SPG, kami ditugaskan mencari sekolahan untuk mengajar Pramuka. Dibuatlah kelompok yang terdiri dari enam orang. Alangkah senangnya hatiku akhirnya bisa mengajar yang dilakukan setiap hari Sabtu sore. Ternyata seperti ini rasanya menjadi guru ketika harus menghadapi siswa yang begitu banyak, kadang menyenangkan kadang juga mengesalkan. Meskipun begitu, saya tetap riang dan bersemangat  karena saya ingin menjadi seorang guru di masa depan. 

Waktu duduk di kelas tiga semester dua, sekolah kami menugaskan mencari SD untuk praktik mengajar. Dan ketika praktik mengajar diawasi oleh guru pembimbing. Saya teringat sekali waktu itu ketika akan praktik di hari pertama. Hujan lebat, dan saya menaiki sepeda dengan membawa alat peraga berupa senter dan sejumlah barang lainnya yang berada di dalam tas.  Globe saya pegang sambil tangan saya mengendalikan stang sepeda. Saya kebut laju sepeda karena hujan begitu lebat. 

Dalam perjalanan itu,  globe terjatuh sementara tangkainya masih dalam genggamanku. Akhirnya saya harus berhenti untuk mengambil globe sehingga pakaian ini basah kuyup sampai sekolahan tempat praktik. Pengalaman itu sungguh tak bisa terlupakan. 

Tamat dari SPG Muhammadiyah Imogiri, pada tahun 1985, di Kota Yogyakarta ada pembukaan pendaftaran guru. Begitu dengar kabar pendaftaran tersebut, saya langsung datang ke Kepatihan Yogyakarta melihat syarat-syarat pendaftaran. 

Setelah melengkapi segala persyaratan, dengan mengayuh sepeda, saya berangkat untuk mendaftarkan diri jadi guru. Jarak beberapa minggu kemudian, ada pengumuman yang ditempel di sebuah tempat di Kabupaten Bantul. Dengan hati cemas dan gelisah, saya  lihat pengumuman itu dengan mata melotot dan memeriksanya berulang-ulang. Namun namaku tidak ada di sana. Nasib, belum waktunya saya diterima menjadi guru di daerah Yogyakarta. Sedih sekali rasanya karena tidak diterima lamaran kerjaku itu. 

Bulan Juni tahun 1985, saya keliling mencari pekerjaan mengajar di beberapa SD dan TK di wilayah Pleret. Tidak masalah jadi guru honorer. Akhirnya saya diterima di salah satu sekolah Taman Kanak-Kanak (TK). 

Hari pertama masuk mengajar, saya bertugas sendirian menghadapi murid sebanyak 34 anak. Bersama-sama mereka mengatakan,  “Ayo Buk, nyanyi montor-montor cilik. “ 

Seumur-umur belum pernah saya mendengar lagu itu. Sementara itu anak-anak tetap merengek, “Bu guru yang nyanyi montor-montor cilik.“    

Menghadapi anak usia dini yang demikian banyak memang tidak mudah. Ketika pembelajaran sedang berlangsung, ada yang menangis, ada yang berantem, suasana kelas jadi gaduh. Nah, akhirnya anak yang ribut saya bujuk untuk menyanyikan lagu montor-montor cilik di depan kelas. Ketika anak tersebut bernyanyi, buru-buru saya perhatikan syair-syairnya yang kemudian saya tulis dan saya hafalkan . 

Ternyata inilah lirik lagu “Montor-Montor Cilik” itu: 

Montor montor cilik, seng numpak mblenek

Lungguh liyat liyut, ngantuk theklak-thekluk

Mak gragap neng tengah kretek, ono grobak mandhek, grobake isi babi 

Ambune ra pati wangi 

Pak gedhe cungar-cungir, babine jedhar-jhedir

Montore muni mak ngok, babine muni mak nggrok

Ngok…ngok… nggrok…. nggrok.

Ngok….ngok.. nggrok….nggrok.

Pada suatu hari, yakni hari Senin tanggal 3 Juni tahun 1986 ketika saya masih mengajar sekitar pukul 10.00 WIB, datang seorang laki-laki yang gagah dan tampan menemuiku. Tiba-tiba ia mengajak berkenalan. Di hari berikutnya, tanggal 4 Juni, ia datang ke rumah menemui orang tuaku untuk melamar. Singkat cerita, saya menikah dengannya pada tanggal 26 Juni 1986.

Di sekolah tersebut, saya mengajar selama kurang lebih satu tahun. Kemudian saya ikut suami merantau ke Sumatra dan hidup Bengkulu.

Pada akhir tahun 1987, ada pendaftaran CPNS Guru SD. Saya jadi orang yang daftar pertama kalinya sehingga mendapat nomor urut 001. Saya lulus dan diangkat sebagai pegawai negeri kemudian ditugaskan di SDN 44 Bengkulu Tengah dari tanggal 1 Maret 1988 sampai saat ini. 

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud

Berita Terkait

17 Tahun sebagai Guru Honorer, Tak Berhenti Mengejar Impian Jadi ASN PPPK
Kisah Sukses ASN PPPK: Hampir Menyerah dan Berpaling dari Dunia Pendidikan
Mengenal Alga Pratama Putra Siswa SMAN 11 Garut dan Calon Duta Baca
Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza
Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat
Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya
Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa
Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN
Berita ini 23 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 23 Juni 2024 - 20:45 WIB

17 Tahun sebagai Guru Honorer, Tak Berhenti Mengejar Impian Jadi ASN PPPK

Minggu, 9 Juni 2024 - 20:59 WIB

Kisah Sukses ASN PPPK: Hampir Menyerah dan Berpaling dari Dunia Pendidikan

Kamis, 16 Mei 2024 - 10:10 WIB

Mengenal Alga Pratama Putra Siswa SMAN 11 Garut dan Calon Duta Baca

Rabu, 13 Maret 2024 - 11:34 WIB

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza

Minggu, 20 Agustus 2023 - 21:20 WIB

Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat

Berita Terbaru

Unduh Sertifikat Pendidikan 32 JP Gratis