Kenapa Matematika Menjadi Pelajaran Horor bagi Siswa?

- Editor

Rabu, 31 Maret 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Bagi sebagian siswa sekolah, pelajaran Matematika masih dianggap sebagai pelajaran yang menyeramkan, menakutkan, seolah-olah keberadaannya seperti hantu. Hal ini dimungkinkan karena Matematika  merupakan  pelajaran yang sulit untuk dipelajari sehingga  menjadi beban bagi siswa dan pada gilirannya tidak sedikit para siswa menjadi trauma. Persepsi ini berkembang sampai saat ini sehingga salah penafsiran ini harus segera diluruskan dengan tindakan nyata baik dari segi pengenalan, pendekatan, strategi dan metoda yang digunakan.

Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Namun  pada hakikatnya Matematika merupakan ilmu yang sifatnya mengglobal. Semua disiplin ilmu bergantung dengan Matematika sehingga Matematika dikatakan sebagai ibunya ilmu pengetahuan yang keberadaannya di dunia ini sangat diperlukan sejalan dengan tuntutan kebutuhan umat manusia. Karena tidak ada aktivitas manusia yang terlepas dari Matematika. Akan tetapi kenapa ilmu Matematika di dunia pendidikan terutama di Indonesia masih merupakan momok yang menakutkan bagi para siswa yang mempelajarinya. Padahal ia hadir bukan untuk menjadi hantu  yang menakut-nakuti siswa. Justru Matematika hadir untuk menata nalar siswa dan bisa berfikir secara logis.

Dari data yang diperoleh dari Kemendikbud bahwa rata-rata nilai UNBK tingkat nasional untuk SMA jurusan IPA sebesar 52,43 pada Tahun Pelajaran 2018/2019. Adapun nilai tertinggi adalah untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia, yakni sebesar 69,07. Sementara terendah adalah mata pelajaran Matematika dengan nilai 38,68. Ini menunjukan fakta bahwa Matematika masih perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian semua unsur yang terkait demi  kemajuan kualitas pendidikan di Indonesia.

Menurut Guru Besar Matematika Universitas Gadjah  Mada (UGM) Profesor Widodo, setidaknya ada tiga alasan yang bisa menjelaskan mengapa Matematika dianggap pelajaran menakutkan. Alasan pertama datang dari faktor buku teks. Kedua karena faktor guru di sekolah. Dan ketiga dari sisi anak sendiri.

Bila kita amati ternyata di Indonesia buku pelajaran Matematika yang ada, memang penampilannya kurang menarik dengan fisik yang tebal, berisikan teori-teori. Seyogyanya buku tersebut disajikan dengan konteks kehidupan sehari-hari agar seseorang terutama anak bisa merasa terlibat.

Banyak guru Matematika juga kesulitan membuat Matematika sebagai sesuatu pelajaran yang menarik. Tatkala siswa bertanya sesuatu yang sifatnya abstrak, gurunya tidak tahu terus marah karena guru itu tidak terbiasa menggunakan inovasi. Ditambah penampilan guru yang jarang senyum, sehingga menambah parah keadaan sudah pelajarannya sulit, tidak menarik lagi.

Faktor  terakhir  adalah  asumsi  bahwa  Matematika  itu sulit menurut  anak itu sendiri. Matematika  sudah  terlanjur  dianggap  sebagai sesuatu yang susah sehingga tertanam  pada memori anak yang membuatnya malas untuk belajar.

Hampir sebagian pelajar  tidak menyukai atau menganggap Matematika sebagai salah satu pelajaran yang menakutkan. Bahkan meningkat pada trauma.

Pernah terjadi suatu  saat bapak guru ke kantin, ternyata di sana ada beberapa orang siswa sedang jajan padahal seharusnya mereka belajar Matematika di kelas. Setelah ditanyakan kepada mereka mengapa berada di kantin? Mereka menjawab: ”Kami ada pelajaran Matematika, Pak! Namun kepala kami rasanya pusing, apalagi berkaitan dengan hitung-menghitung perkalian, pembagian bilangan pecahan, nyaris kepala ini ikut pecah!”

Cerita di atas mengisyaratkan bahwa mereka kurang menguasai pemahaman Matematika dasar mengenai penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian bilangan pecahan yang seharusnya sudah tuntas dikuasai pada tingkat sekolah dasar.

Dalam hal ini guru harus introspeksi diri dengan melakukan pendekatan secara individual sehingga permasalahan kenapa mereka malas belajar Matematika bisa teratasi. Sehingga kesan mereka terhadap Matematika menjadi pelajaran yang bermakna bagi dirinya.

Kemudian ada juga kejadian seorang wali siswa datang kepada wali kelas mengutarakan keinginan agar  anaknya bisa diterima di Perguruan Tinggi, tapi nilai Matematika-nya masih jauh di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM). Padahal anaknya sudah belajar dengan maksimal. Ini artinya anak tersebut perlu mendapatkan motivasi belajar dengan selalu melakukan pengulangan (remedial) belajar dan mengerjakan latihan-latihan soal atau mengikuti tutor sebaya.

Mengubah Paradigma

Untuk mengubah paradigma bahwa Matematika menjadi pelajaran yang menarik harus dilakukan upaya-upaya pembelajaran yang menyenangkan seperti pembelajaran berpusat pada aktivitas siswa; guru melatih dan membimbing siswa berpikir kritis dan kreatif dalam menyelesaikan masalah; guru mengorganisasikan bekerjasama dalam kelompok belajar, melatih siswa berkomunikasi menggunakan grafik, diagram, skema dan variable; seluruh hasil kerja dipresentasikan di depan kelas untuk menemukan berbagai konsep, hasil penyelesaian masalah, aturan Matematika yang ditemukan melalui proses pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas pembelajaran Matematika harus memberikan potensi kepada siswa untuk digunakan dalam kehidupanya. Pada akhirnya guru memberikan penilaian tidak hanya dengan melihat hasil belajar siswa saja, namun dengan proses yang sudah dilakukan oleh siswa baik di dalam kelas maupun di luar kelas.

Penilaian harus mampu mengukur  indikator yang harus dicapai dalam mempelajari Matematika. Hasil penilaian tidak  hanya  berpacu  pada siswa yang sudah melakukan ketuntasan dalam penilaian yang diberikan guru tapi lebih menekankan kepada pemahaman yang dimilikinya.  Juga penerapan dalam materi yang disampaikan oleh guru sehingga pelajaran Matematika tidak lagi dianggap sebagai mata pelajaran yang membuat siswa maupun siswi tertekan ataupun menjadi hantu dalam kehidupannya.

Ditulis oleh: Ajat Sudrajat, S.Pd

Berita Terkait

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?
Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar
Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan
Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045
Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik
Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak untuk Mensuksekan Kurikulum Merdeka
Penerapan Student Lead Conference untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Peserta Didik
Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal yang Masih Minim
Berita ini 66 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 4 September 2024 - 10:05 WIB

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?

Kamis, 15 Agustus 2024 - 23:11 WIB

Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar

Kamis, 15 Agustus 2024 - 22:44 WIB

Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan

Rabu, 14 Agustus 2024 - 14:52 WIB

Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045

Selasa, 13 Agustus 2024 - 21:42 WIB

Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik

Berita Terbaru

Kurikulum Pendidikan

Ramai Diperbincangkan Deep Learning, Akan Gantikan Kurikulum Merdeka?

Rabu, 13 Nov 2024 - 11:51 WIB

Unduh Sertifikat Pendidikan 32 JP Gratis