Ditulis oleh Septi Efa, S. Pd
Guru di SMAN I Harau
Aku mulai mengajar di SMA Negeri 1 Harau tahun 1996. Sebelumnya aku pegawai Administrasi di Kandep Dikbud Kabupaten Limapuluh Kota Sumbar selama 5 tahun.
Aku masih ingat betul awal aku jadi guru, aku mengajar di kelas satu SMA, sekarang lebih dikenal dengan kelas X. Aku begitu semangat sekali mengajar waktu itu. Mata pelajaran yang kuampu adalah Bahasa Inggris. Materinya perkenalan diri. Mereka senang sekali. Mereka lucu- lucu sehingga mudah aku kenal. Lagi pula waktu itu muridnya tidak begitu banyak dalam satu kelas. Aku mengajar hanya 3 kelas.
SMAN I Harau terletak di Kecamatan Harau. Lebih kurang 500 meter dari Jalan Raya Negara Padang-Pekanbaru . Di masa itu jalan ke sekolah masih jalan tanah dan kendaraan pun masih jarang masuk. Jumlah guru dan karyawan yang punya sepeda motor bisa dihitung jari. Umumnya pakai angkot untuk pergi sekolah. Lagi pula guru-guru banyak tinggal di kompleks SMA. Aku sendiri berjalan kaki ke sekolah.
Sekolah SMAN I Haru waktu itu masih kecil. Belum sebesar dan se-asri sekarang. Guru umumnya muda-muda. Saat itu, guru perempuan yang pakai jilbab hanya tiga orang, yaitu guru agama dan satu lagi guru biologi. Gaya berpakaian guru di masa itu masih banyak yang pakai baju dinas dengan pasangan rok span. Kemudian rambut disanggul.
Murid kami sopan-sopan. Mereka umumnya keturunan Jawa. Karena sekolah kami berada di dekat pemukiman transmigrasi. Nama Perkampungannya Purwajaya. Namun bahasa sehari- hari yang mereka gunakan adalah bahasa Indonesia. Agama para siswa heterogen, ada Islam, Kristen Protestan, dan Katolik.
Setelah beberapa saat kemudian, aku menjadi wali kelas satu. Anggota kelasku sebanyak 23 orang dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada lima siswa yang merupakan anak angkatan tentara. Murid di kelasku tersebut banyak laki-laki. Mereka dididik keras oleh orang tuanya. Terutama yang anak tentara. Jika ada teman perempuannya diganggu oleh laki -laki lain, mereka melerai dengan semangat .
Pernah aku memanggil orang tua mereka. Panggilanku dihadiri tepat waktu, wali murid tersebut datang memakai pakaian dinasnya. Mereka memberikan motivasi kepadaku, agar aku tegas pada anak-anak mereka. Bahkan menganggap diri mereka bagian dari kelasku.
Dukungan dari orang tua tersebut sangat aku rasakan ketika tanggal 17 Agustus ada pawai alegoris. Tugas kelasku membuat kenderaan perang. Aku mendapat dukungan luar biasa. Apa yang dibutuhkan dipinjami. Fasilitas dari mereka lengkap dengan pakaian prajuritnya.
Akhirnya kami membuat kendaraan tank baja, memakai mobil L 300 kepunyaan wali murid . Kami menghiasinya sehingga berbentuk persis kendaraan perang. Kerangkanya dari bambu, triplek, dan karton. Kemudian dibalut dengan kertas semen. Terakhir dicat warna loreng.
Hampir satu minggu kami mengerjakannya. Kami bergotong-royong mengerjakannya di rumah salah satu siswa. Kebetulan orang tuanya tentara juga. Dan ada salah satu teman ayahnya juga ikut menuangkan kreativitasnya bersama para siswa.
Kebetulan pawai diadakan 18 Agustus sehari sesudah upacara kemerdekaan. Dengan melihat hasil kerja mereka, aku merasa puas. Terasa keakraban di antara mereka. Bahkan ada kelas lain yang ikut kompak kelasku.
Pagi, 18 Agustus 1996, tank baja yang kami buat sudah sampai di sekolah. Dengan pakaian tentara, para siswa berdiri di atas tank baja berseragam tentara lengkap. Rambutnya dipotong pendek, rapi, terlihat gagah sekali.
Panitia mengatur urutan pawai. Ketika kelasku diberangkatkan, bunyi meriam terdengar menggemparkan. Sehingga orang banyak yang terkejut dan melihat ke sumber bunyi. Meriam tersebut dibuat dari bambu besar. Meriam itu hanya dibunyikan pada saat-saat yang diperlukan saja.
Di dalam kelompok karnaval tersebut, terdapat siswa yang bertugas membawa spanduk di samping kiri dan kanan dengan tulisan, “Di tanganmu, Pemuda Indonesia Jaya.” Di bawahnya tertulis “Kontingen Kelas 1.1 SMAN Tanjung Pati”–karena waktu itu sekolah kami belum bernama SMAN I Harau.
Selain itu, terdapat dua siswa berpakaian layaknya Soekarno dan Mohammad Hatta yang didampingi istri masing-masing. Di belakangnya, terdapat enam orang berpakaian pejuang bambu runcing dan diikuti tank baja. Di atas tank baja berdiri dua sosok tentara.
Ketua kelas bertugas mengemudikan tank baja. Dan aku duduk di sampingnya sebagai reporter. Meskipun melelahkan tapi tetap semangat. Panas tidak menjadi terasa. Apalagi ketika para penonton memberi semangat. Mereka meneriakkan, “Merdeka! Merdeka! Kelas 1.1, hebat. Bagus sekali.”
Ketika kami sampai di panggung kehormatan, meriam dilepaskan beberapa kali. Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh dari penonton. MC juga bersemangat memberikan dukungan. ” Luar biasa, Hidup kelas 1.1!” Dewan juri mengangguk-anggukan kepala karena kagum dengan penampilan kontingen kelasku.
Pengumuman pemenang adalah saat yang ditunggu-tunggu. Pengumuman berbagai kategori disampaikan, seperti drumband, pakaian adat, properti, dan lainnya. Ternyata pawai alegoris kali ini juara umumnya dari sekolahku. Sementara kelas kami mendapatkan juara dengan kategori properti terbaik. Teriakan gembira kami serentak bergema. Kami sangat bersyukur dan merayakannya dengan makan bersama-sama yang dibuat sendiri oleh para siswa dan wali murid. Berkat momen ini sangat terasa kedekatan hubungan antara guru, murid, wali murid, dan masyarakat .
Di samping menjadi wali kelas, aku juga menjadi pembina di Gudep. Pramuka di sekolahku cukup aktif. Aku senang saat melatih mereka. Sewaktu latihan atau pelaksanaan Perjusami sangat terasa sekali hubungan hangat antar kakak dan adik. Kami latihan setiap hari Minggu untuk Pramuka Bantara sedangkan untuk Pramuka Umum diadakan setiap hari Sabtu mulai pukul 14.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.
Di sekolahku sudah menjadi tradisi bahwa kelas satu wajib mengikuti Pramuka. Mereka dilatih dasar-dasar Pramuka, PBB, dan pionering . Latihan didampingi oleh senior Pramuka Bantara yang terdiri dari kakak senior kelas dua dan kelas tiga. Banyak sekali pengalaman yang mereka dapatkan dalam memimpin adik-adiknya.
Kami berusaha kegiatan Pramuka disesuaikan dengan program. Pada akhir tahun ajaran Pramuka rutin mengadakan Perkemahan Jumat Sabtu Minggu dengan singkatan Perjusami. Biasanya dua bulan sebelum kegiatan Perjusami sudah dibuat kepengurusan atau panitia. Panitia dibagi menjadi dua, yang pertama kepanitiaan dari guru dan yang kedua panitia daripada murid. Tugas guru membimbing siswa langsung dalam pembuatan proposal anggaran per seksi.
Biasanya kegiatan Perjusami diadakan di sekitar Kecamatan Harau. Tidak jauh- jauh dari sekolah. Namun pernah Kepala Sekolah mengarahkan ke suatu tempat yang jauh lebih kurang 30 km dari sekolah.
Aku sebagai koordinator pembina selalu menerima masukkan dan saran. Segala sesuatu dapat dibahas dalam latihan. Kami juga meminta bantuan tenaga ke alumni, Kwarcab, Kepolisian, Dinas Pendidikan, dan masyarakat. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.