Ana Subekti: Tiada Kata Lain selain Wujudkan Impian Jadi Guru 

- Editor

Jumat, 6 Januari 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Ana Subekti, S.Pd.I.

Guru SDN Banjarharjo, Kalibawang, Kulon Progo, DIY

 

“Semua butuh guru. Dokter, insinyur, bahkan seorang presiden sekalipun butuh guru hingga mereka dapat menjadi orang-orang hebat sesuai dengan bidangnya masing-masing.” Kalimat tersebut yang pernah disampaikan ayahku, yang akhirnya menjadi doktrin dalam hidupku sejak kecil.

Doktrin itu pula yang kemudian mengantarkan saya menjadi seorang pelajar yang academic oriented dan individualis. Di sisi lain, ibu saya juga mengatakan bahwa jika kelak saya ingin kuliah, maka saya harus bisa masuk perguruan tinggi negeri. Jika tidak, maka orang tua tidak akan mampu membiayainya. 

Saya adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Ayah saya berprofesi sebagai guru SD. Ibu saya dulunya juga merupakan seorang guru, beliau pernah mengajar di TK dan SD. Tetapi kemudian memilih untuk menjadi ibu rumah tangga setelah melahirkan saya. Begitu cerita ibu tentang masa lalunya. 

Gaji seorang PNS guru pada waktu itu tidaklah besar. Namun demikian, setidaknya gaji seorang guru masih bisa untuk mencukupi kebutuhan pokok keluarga. 

Meskipun menjadi guru tidak menjadikan orang bergelimang harta, namun impian menjadi guru tetap tertancap kuat dalam diri saya. Doktrin tentang kehebatan seorang guru sudah mulai tertanam sejak saya masih bersekolah pada jenjang sekolah dasar. 

Cita-cita pertama yang pernah terlintas dalam benak seorang siswa SD ketika itu, saya ingin menjadi seorang guru olahraga. Entah alasan apa yang menjadikan saya ingin menjadi guru olahraga ketika itu, padahal saya tidak memiliki bakat apapun yang berkaitan dengan olahraga. Ternyata keinginan untuk menjadi guru olahraga tidak bertahan lama karena ketertarikan saya setiap mengikuti pelajaran Pendidikan Agama Islam. Setelah itu tumbuh keinginan saya untuk dapat menjadi guru Agama Islam saat dewasa nanti. 

Sejak kecil saya terus didorong oleh orang tua untuk menjadi juara kelas. Berkat dorongan tersebut benar-benar mengantarkan saya menjadi juara kelas hampir setiap tahun. 

Saat duduk di kelas enam, saya berkeinginan setelah lulus nanti dapat melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren. Tetapi keinginan tersebut pupus setelah ibu mengatakan bahwa untuk pendidikan lanjutku tidak perlu jauh-jauh. Apalagi menempuh pendidikan di pondok pesantren waktu itu dianggap membutuhkan biaya yang banyak. Akhirnya setelah lulus SD, saya melanjutkan pendidikan di salah satu SMP Muhammadiyah yang tidak jauh dari tempat tinggalku. 

Setelah masuk SMP, saya masih tetap menjadi seorang siswa academic oriented yang tidak mau mempedulikan apapun selain belajar dan mengerjakan tugas. Tempat “nongkrong” paling favorit adalah perpustakaan untuk membaca. Hal tersebut menjadikan saya tidak memiliki banyak kawan. Yang saya ingat saat itu, saya hanya memiliki seorang teman. 

Mungkin teman-teman sebaya menganggap saya pendiam atau mungkin terlalu bersikap masa bodoh, atau mungkin sangat membosankan. Namun semua itu tidak saya pedulikan. Sebab yang saya pikirkan waktu itu hanyalah bagaimana agar saya selalu menjadi juara di kelas hingga kelak dapat berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri untuk dapat menjadi seorang guru. 

Saat SMP, saya semakin menyukai mata pelajaran Matematika sehingga nilai saya di mata pelajaran tersebut semakin hari semakin baik dan memuaskan. Bahkan saya mendapatkan nilai sempurna pada Ujian Nasional untuk mata pelajaran Matematika. Oleh sebab itu, saya yang sebelumnya ingin jadi guru Agama Islam, mulai tertarik menjadi seorang guru Matematika. 

Hingga berseragam putih abu-abu, saya masih istiqomah menjadi siswa academic oriented, disebabkan oleh cita-cita saya ingin menjadi seorang guru. Kelak, saya berharap dapat masuk perguruan tinggi negeri mengambil jurusan pendidikan Matematika dengan tanpa tes. 

Menjelang lulus SMA, saya didaftarkan oleh guru Bimbingan dan Konseling (BK) untuk masuk Universitas Negeri Yogyakarta melalui jalur penelusuran bibit unggul untuk mata pelajaran Matematika. Melihat kemampuan saya di bidang Matematika, membuat rasa percaya diri saya cenderung berlebihan, saya begitu yakin akan diterima. 

Saat pengumuman keluar, ternyata kepercayaan diri yang sudah terlanjur melambung tinggi terpatahkan dengan fakta bahwa saya tidak diterima menjadi calon mahasiswa baru di Universitas Negeri Yogyakarta melalui jalur penelusuran bibit unggul untuk mata pelajaran Matematika. Maka realita tersebut membangunkan saya dari buaian arogansi yang beranggapan bahwa dengan segudang prestasi yang pernah saya raih akan mampu meraih apapun yang saya inginkan, seolah-olah saya mampu mengintervensi takdir Tuhan. 

Sempat putus asa dan menyalahkan diri sendiri sebab kegagalan ini. Hingga akhirnya saya mencoba bangkit kembali, mengingat masih ada kesempatan lain untuk dapat masuk perguruan tinggi negeri. 

Kemudian saya mendaftar kembali melalui seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri di Universitas Negeri Yogyakarta jurusan Matematika. Ketika itu, ibu saya memberikan sebuah saran, “Sebaiknya jangan hanya mendaftar satu perguruan tinggi, bisa mendaftar perguruan tinggi lainnya.” 

Jujur saja saya tidak menyangka akan diizinkan mendaftarkan diri lebih dari satu perguruan tinggi, sehingga kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan. Saya juga mendaftarkan diri di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan pilihan pertama Jurusan Pendidikan Agama Islam, pilihan kedua Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah sebagai pilihan ketiga. 

Akhirnya pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi negeri tiba. Ternyata takdir membawa saya menjadi bagian dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga jurusan Pendidikan Agama Islam. Dengan ini, mungkin Allah ingin menggantikan keinginan saya belajar di pondok pesantren yang sempat gagal di masa lalu. 

Tujuh semester saya lalui hingga saya lulus. Saya menjadi mahasiswa terbaik di jurusan Pendidikan Agama Islam waktu itu. Setelah lulus, saya memberanikan diri untuk meminta izin melanjutkan ke program pasca sarjana.  Tetapi sayangnya orang tua tidak mengizinkan karena tidak punya biaya. Justru orang tua menyarankan saya untuk mencari pengalaman mengajar dengan cara menjadi guru wiyata bakti.

Saya pun mulai mengajar di salah satu SD swasta favorit di daerah Condongcatur selama satu semester. Saat itu saya menggantikan seorang guru yang sedang cuti. Honor yang saya dapatkan sebagai guru lepas bisa dibilang lebih dari cukup. 

Setelah habis kontrak selama satu semester, saya mendapat tawaran untuk mengabdi di SMA almamater. Bisa dikatakan saya memulai perjuangan sebagai guru yang sebenarnya adalah di sini. Saya harus mengajar dengan honor yang tidak pasti. Selanjutnya, saya melamar sebagai guru wiyata bakti di SMA lainnya, sehingga saya mengajar di dua sekolah. 

Enam tahun lamanya saya mengabdi sebagai guru wiyata bakti. Pada tahun 2018, saya mengikuti seleksi penerimaan CPNS. Proses seleksi yang penuh drama harus saya lalui. Ada lima guru dari sekolah tempat saya mengabdi yang mendaftar seleksi CPNS. Tapi hanya ada satu guru yang lolos ujian seleksi kompetensi dasar.  Sedangkan saya termasuk dalam kategori tidak lolos passing grade. Putus lah harapan, jelas bahwa bagi yang tidak lolos ambang batas maka tidak ada kesempatan untuk mengikuti tahapan ujian selanjutnya yakni seleksi kompetensi bidang. 

Kecewa, sedih, bahkan malu sempat saya alami. Rasanya untuk bertatap muka dengan siswa saja pun enggan. Saya merasa gagal, semua kebanggaan terhadap kemampuan diri, prestasi, yang pernah saya raih di masa lalu seakan-akan tidak ada manfaatnya. Saya merasa bukan siapa-siapa ketika itu. 

Namun pada akhirnya saya mencoba untuk ikhlas menerima, berusaha merelakan apa yang menjadi kehendak Tuhan, menguatkan diri untuk menerima qada dan qadar Allah dan mencoba yakin bahwa ada hikmah di balik semua peristiwa ini. 

Ketika ikhlas itu sudah benar-benar tertanam, meleburkan kesombongan dan segala keangkuhan diri, Allah mengirimkan keajaiban. Tiba-tiba ada kebijakan bagi P2 (peserta tidak lolos passing grade) tetap berhak mengikuti tes seleksi kompetensi bidang berdasarkan perangkingan. Qadarullah, saya pun masuk sebagai tiga besar yang berhak mengikutinya. 

Melalui proses tersebut, akhirnya saya diterima menjadi CPNS angkatan 2018, dengan TMT mulai bulan Februari 2019 sebagai guru mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti di SD Negeri Banjarharjo Kapanewon Kalibawang. Takdir yang tidak pernah disangka setelah perjalanan panjang, yang sungguh tidak terlepas dari kuasa Allah sebagai Sang Maha Berkehendak.

Selama ini, saya telah menghabiskan masa muda untuk mengejar ambisi menjadi guru. Lelah? Pasti. Jenuh? Iya. Ingin berhenti berjuang? Sering. Tetapi saya bersyukur bahwa Allah selalu mengiringi langkah demi langkah.  Dia yang membangkitkan kembali di kala saya terjatuh, Dia kuatkan lagi di saat saya terpuruk dan putus asa. Apa yang saya dapatkan saat ini tidak terlepas dari belas kasih-Nya. (*)

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud

Berita Terkait

17 Tahun sebagai Guru Honorer, Tak Berhenti Mengejar Impian Jadi ASN PPPK
Kisah Sukses ASN PPPK: Hampir Menyerah dan Berpaling dari Dunia Pendidikan
Mengenal Alga Pratama Putra Siswa SMAN 11 Garut dan Calon Duta Baca
Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza
Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat
Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya
Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa
Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN
Berita ini 12 kali dibaca

Berita Terkait

Minggu, 23 Juni 2024 - 20:45 WIB

17 Tahun sebagai Guru Honorer, Tak Berhenti Mengejar Impian Jadi ASN PPPK

Minggu, 9 Juni 2024 - 20:59 WIB

Kisah Sukses ASN PPPK: Hampir Menyerah dan Berpaling dari Dunia Pendidikan

Kamis, 16 Mei 2024 - 10:10 WIB

Mengenal Alga Pratama Putra Siswa SMAN 11 Garut dan Calon Duta Baca

Rabu, 13 Maret 2024 - 11:34 WIB

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza

Minggu, 20 Agustus 2023 - 21:20 WIB

Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat

Berita Terbaru

Unduh Sertifikat Pendidikan 32 JP Gratis