Oleh Faqih, S.Pd.
Guru SMPN 1 Dukuhseti, Pati, Jawa Tengah
Apakah sekolah kita sudah menjadi sekolah yang ramah anak? Apakah siswa kita sangat antusias belajar di kelas? Apakah pembelajaran dapat berjalan dengan kondusif?
Sebagai guru, pertanyaan di atas perlu kita refleksikan setiap hari. Bagaimanapun siswa yang ceria, lingkungan sekolah yang nyaman, dan suasana kelas yang menyenangkan adalah impian kita semua.
Sayangnya semakin banyak siswa yang melanggar peraturan sekolah. Banyak pula yang selama ini telah diberi sanksi namun tetap melakukan pelanggaran. Jika hal ini tidak segera diatasi, justru akan semakin mempengaruhi siswa lainnya melakukan pelanggaran serupa. Misalnya pelanggaran sering terlambat datang ke sekolah, tidak mau melakukan tugas piket kebersihan kelas, tidak menghargai guru, tidak mengerjakan tugas, membuang sampah sembarangan, serta mem-bully teman-temannya.
Untuk mengatasi budaya negatif tersebut maka perlu kerja keras guru dalam membangun budaya positif di sekolah. Budaya positif adalah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada siswa agar siswa dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat, dan bertanggung jawab.
Agar berhasil, budaya positif dapat dibangun dan disepakati berdasarkan keyakinan-keyakinan oleh warga sekolah. Menurut Gossen (1998) suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya daripada hanya sekadar mengikuti serangkaian peraturan. Siswa pun demikian. Mereka perlu memahami suatu keyakinan daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membangun budaya positif. Upaya yang pertama adalah menyusun kesepakatan kelas, yang kedua mempraktikkan segitiga restitusi, serta yang ketiga melalui kegiatan pembiasaan dan keteladanan
1. Membuat Kesepakatan Kelas
Kegiatan ini dapat dilakukan di awal tahun pelajaran. Langkah-langkahnya dapat dilakukan sebagai berikut.
Pertama, menanyakan ide atau gagasan tentang kelas impian dari siswa. Untuk mencapai kelas impian, guru dapat memberikan kesempatan siswa terlibat dalam pengaturan kelas siswa. Peserta didik diberikan pertanyaan bagaimana cara mewujudkan kelas yang diimpikan, kemudian siswa menjawab seperti menjaga kebersihan kelas, bekerja sama tidak membuang sampah sembarangan, saling menghormati, dan tidak membuat kegaduhan.
Selain itu, guru dapat mengarahkan siswa agar berdiskusi untuk menentukan kesepakatan kelas. Diskusi dipimpin oleh ketua kelas. Salah satu siswa diminta untuk menuliskan hasil kesepakatan kelas dalam bentuk poster. Kemudian siswa dan guru menandatangani kesepakatan kelas di poster tersebut.
Poster kesepakatan kelas yang sudah disepakati dapat dipajang di dinding sehingga mudah dilihat kembali untuk mengingatkan semua warga kelas sebagai budaya positif yang wajib dilaksanakan.
Agar kesepakatan tersebut dapat terus berjalan, guru dan siswa perlu melakukan refleksi. Pada pertemuan di kelas, guru mengingatkan kembali tentang kesepakatan kelas agar suasana pembelajaran kondusif. Di sisi lain, setiap murid juga harus bisa saling mengingatkan agar semua anggota kelas melaksanakan hal yang sudah disepakati bersama.
2. Praktik Segitiga Restitusi
Praktik segitiga restitusi dilakukan berdasarkan pelanggaran yang dilakukan oleh siswa terhadap kesepakatan kelas. Adapun tahapan yang dilakukan oleh guru saat praktik segitiga restitusi meliputi koordinasi dengan wali kelas, guru BK, dan guru piket; memanggil secara pribadi siswa yang melakukan pelanggaran; dan berdiskusi dengan siswa yang melakukan pelanggaran dengan memanfaatkan peran guru sebagai teman, pemantau, maupun manajer.
Kegiatan ini dilakukan saat ada siswa yang melakukan pelanggaran terhadap tata tertib. Sebagai contoh, untuk kasus siswa yang menyemir rambutnya dengan warna pirang. Cara pendekatan yang dilakukan guru yaitu menggali motivasi intrinsik dari siswa dengan menggunakan peran kontrol guru sebagai manajer. Siswa tersebut didorong untuk mau mengubah warna rambutnya seperti semula yaitu hitam. Dan untuk menebus kesalahan siswa tersebut dapat melakukan hukuman budaya positif secara ikhlas yaitu membuang sampah ke penampungan akhir.
3. Kegiatan Pembiasaan dan Keteladanan
Ada berbagai kegiatan pembiasaan yang dapat dilakukan agar menjadi budaya positif di sekolah. Sebagai contoh yaitu kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan sekolah setiap hari Sabtu. Kegiatan dilaksanakan oleh seluruh warga sekolah, baik siswa, Kepala Sekolah, guru, maupun karyawan. Guru perlu senantiasa memberikan keteladanan agar kegiatan pembiasaan berjalan lancar.
Ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan dari pengalaman membangun budaya positif. Pertama, dalam membangun budaya positif perlu disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara warga sekolah. Selanjutnya, melalui praktik restitusi diharapkan siswa dapat kembali ke kelompoknya dengan karakter yang lebih baik dan lebih kuat.
Upaya penanaman budaya positif di sekolah akan lebih diterima oleh siswa jika melibatkan siswa dalam membuat kesepakatan agar memiliki pemahaman yang sama. Selain itu, keteladanan dari guru akan sangat menentukan suksesnya membangun budaya positif di sekolah. (*)
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.