Tak Ada Kata Terlambat untuk Belajar

- Editor

Senin, 5 September 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Hasnah, S.Pd.I., M.Pd. 

Guru di MI DDI Masolo

 

 

Terlahir dari keluarga yang kurang mampu membuat saya sangat tidak mungkin untuk mengenyam bangku pendidikan yang tinggi. Masih teringat kala itu saat pengumuman kelulusan SMK Negeri 1 Pinrang tahun pelajaran 1996/1997, saya sangat merasa sedih dan berkecil hati karena hanya mampu mendengar cita-cita teman sekelas yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Saat itu saya yang bercita-cita ingin menjadi seorang dokter hanya mampu mengusap dada sambil merenungi nasib, mungkin takdir hidupku harus seperti ini.

Setelah lulus, sekitar 3-4 bulan saya menganggur. Perasaan jenuh mulai merasuki pikiran. Hingga saya memutuskan untuk menjadi tenaga sukarela pada kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelumnya saya menjadi peserta PSG (Pendidikan Sistem Ganda) selama 3 bulan, yang saat ini dikenal dengan istilah Prakerin. 

Kurang lebih 7 bulan saya menjadi tenaga sukarela yang hanya mendapat upah seikhlasnya dari lembaga tersebut. Saya kemudian mulai berpikir lagi, kalau seperti ini terus, kapan saya bisa mengumpulkan uang untuk melanjutkan kuliah demi menggapai cita-cita yang saya impikan. Untuk itu saya memutuskan untuk merantau ke negara Malaysia, mengingat bahwa kedua orang tua saya tidak akan sanggup membiayai perkuliahan yang saya idamkan, karena adik-adikku juga masih kecil-kecil dan tentu saja kebutuhannya lebih mendesak daripada kebutuhanku.Saya merupakan  anak tertua dari 8 bersaudara. 

Setelah mendapat izin dari kedua orang tua, saya pun berangkat ke Malaysia. Meskipun saya pergi merantau untuk menjadi tenaga kerja asing di negara tetangga, saya tidak pernah lupa membawa ijazah SMA/SMK dengan harapan ijazah yang saya bawa tersebut bisa digunakan untuk bekerja.  Namun faktanya saya merasa tidak pernahpercaya diri untuk memperlihatkan ijazah yang saya miliki itu. Dan akhirnya ijazah tersebut menjadi penghuni tas tua yang setia menemani di rantauan.

Di negeri orang, saya bekerja tidak tetap, mulai dari jadi pembantu rumah tangga hingga menjadi pekerja kilang (buruh pabrik). Setelah beberapa tahun bekerja,  saya mulai mengikhlaskan segalanya, termasuk cita-cita untuk menjadi seorang dokter. 

Pada tahun ketiga dalam perantauan, saya bertemu jodoh. Singkat cerita akhirnya kami pun menikah pada tahun 2000. Tahun 2002, anak pertama kami lahir dan anak kedua  lahir pada tahun 2004. Saat anak kedua kami berumur 2  bulan , tepatnya pada pertengahan tahun 2004, saya bersama kedua anak saya kembali ke negara asal dan suami tetap bekerja di negara Malaysia. Kami disambut dengan suka cita, semua keluarga bergembira dengan kehadiran anggota baru dalam lingkungan keluarga kami.

Pada akhir tahun 2004, saya memutuskan untuk kuliah. Meskipun saya tidak kuliah sesuai dengan cita-cita saya yaitu untuk menjadi seorang dokter, saya tetap merasa gembira juga, apalagi saya bisa kuliah sambil bekerja. Waktu itu saya mengabdi pada lembaga Raudhatul Athfal Al Amin di Takkalalla Timur, Kelurahan Maccirinna, Kecamatan Patampanua,  Kabupaten Pinrang.

Tahun 2008, saya menambah jam mengajar saya pada salah satu Madrasah Ibtidaiyah, yakni di MI DDI Bila yang berada di Kecamatan Batulappa. 

Pada awal tahun 2009 hubungan saya dengan suami mulai goyah. Dan  di di akhir tahun tersebut kami pun memutuskan untuk bercerai. Sebagai seorang ibu dengan dua orang anak, tanpa penghasilan yang tetap, apalagi masih dalam perkuliahan, saya merasa sangat terpuruk. Namun saya bertekad bahwa hidup harus tetap berlanjut hingga akhirnya saya bisa menyelesaikan kuliah dan diwisuda pada bulan Februari 2011.

Bulan November di tahun tersebut, saya menikah untuk yang kedua kalinya. Saya merasa bersyukur karena suami saya kali ini sangat sayang pada anak-anak. Mereka juga menerima ayah sambung dengan bahagia. Semoga kami tetap berjodoh hingga ajal menjemput. 

Tahun 2013, saya mendapat panggilan untuk mengikuti kegiatan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) bagi guru honorer. Dan pada tahun 2015, setelah gaji sertifikasi cair, saya mencoba melanjutkan pendidikan Pascasarjana di STAIN Parepare. Ketika berjalan tiga semester, saya kembali kekurangan dana hingga akhirnya pada semester empat memutuskan untuk mengambil cuti. Setelah itu lanjut lagi dan di semester berikutnya saya kembali mengambil cuti karena kedua anak saya juga sekolah di pondok pesantren yang tentunya juga sangat membutuhkan uang yang tidak sedikit.

Pertengahan Maret 2019, saya yudisium namun pelaksanaan wisuda mengalami penundaan akibat Covid-19.  Pada bulan Agustus 2020 saya pun diwisuda di gedung baru IAIN Pare-Pare. 

Meskipun dalam proses perkuliahan untuk mendapat gelar magister begitu banyak rintangan dan cobaan, akan tetapi tidak membuat semangat belajar menjadi surut. Terkadang memang merasa putus asa, namun semangat itu kembali muncul berkat dukungan keluarga dan sahabat. 

Dan saya sangat berharap bisa melanjutkan ke jenjang S3, jika Tuhan mengizinkan. Tapi saat ini yang menjadi prioritas saya adalah bagaimana agar kedua anak saya bisa melanjutkan pendidikannya setinggi mungkin meskipun harus bergantian.

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.

Berita Terkait

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka
Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 
Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan
Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan
Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 
Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua
Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan
Berita ini 18 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 20 Februari 2024 - 10:35 WIB

Memaksimalkan ChatGPT untuk Pembelajaran Berdiferensiasi dalam Kurikulum Merdeka

Senin, 19 Februari 2024 - 15:20 WIB

Dampak Positif Kecerdasan Buatan untuk Pendidikan di Indonesia 

Jumat, 16 Februari 2024 - 09:32 WIB

Menggali Potensi Kecerdasan Buatan dan Etika Penerapannya di Dunia Pendidikan

Selasa, 13 Februari 2024 - 10:50 WIB

Kecerdasan Buatan yang Mengguncang Dunia Pendidikan

Selasa, 6 Februari 2024 - 10:35 WIB

Geogebra Media Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan

Senin, 5 Februari 2024 - 10:27 WIB

Apakah  Sosok Guru Akan Tergantikan oleh Teknologi AI? 

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:55 WIB

Kehadiran ChatGPT dalam Dunia Pendidikan, Bagai  Pedang Bermata Dua

Sabtu, 3 Februari 2024 - 15:20 WIB

Keajaiban Kecerdasan Buatan (AI) yang Mampu Merevolusi Dunia Pendidikan

Berita Terbaru