Sigit Mahendradata: Anak Pak Camat yang ‘Terjebak’ di Dunia Guru

- Editor

Rabu, 18 Januari 2023

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Sigit Mahendradata, M.Pd

Guru MAN 1 Bantul Provinsi DI Yogyakarta

 

Tidak terbayangkan jika saya sekarang menjadi seorang guru. Jujur saja, sejak kecil sampai duduk di bangku SMA, tidak pernah terbersit keinginan menjadi seorang pendidik.  Ingat dalam pikiran ini, ketika masih kecil ditanya oleh kakak, jika sudah besar cita-cita mau jadi apa, tanpa saya pikir panjang saya jawab mau jadi pegawai kecamatan.  Kakak tanya lagi, lha kok tidak jadi dokter, tentara, atau jadi guru seperti pakdhe guru itu?  “Nggak seneng, Mbak, seneng jadi pegawai kecamatan saja,” jawabku polos.

Bapak saya adalah pegawai kecamatan. Awalnya beliau adalah seorang Mantri Polisi Pagar Praja, selanjutnya diangkat menjadi camat sehingga kami kadang tinggal di rumah dinas, kadang juga pulang ke rumah sendiri.   

Di dusun tempat kami tinggal, kehidupan berjalan tentram. Antar warga saling tolong-menolong, toleransi dalam pergaulan sangat baik, seperti ciri khas masyarakat pedesaan pada umumnya. Budaya gotong-royong terasa sangat kental.  Hal tersebut yang membuat kami sekeluarga betah,  merasa dihormati, dan dihargai sebagai anggota masyarakat. Profesi sebagai pegawai pada waktu itu memang masih sangat jarang. Tata-rata warga dusun sekitar berprofesi sebagai petani atau buruh lepas.

Dari kecamatan, ada bantuan mobil dinas untuk Bapak berupa Jeep Volkswagen warna orange.  Sehingga untuk bepergian urusan dinas, Bapak sering menggunakan mobil tersebut.  

Ketika usia saya genap 7 tahun, saya masuk ke SD Sedayu I. Setelah tamat  SD lanjut ke SMP N Argomulyo. 3 tahun selanjutnya melanjutkan ke SMAN Argomulyo.

Pada waktu duduk di bangku SMA, saya mengambil jurusan IPS.  Sedikit banyak membuka cakrawala wawasan ilmu dan pengetahuan untuk merajut asa meraih cita-cita.  Namun di masa putih abu-abu tersebut, saya sebenarnya tidak memikirkan lagi cita-cita saya mau jadi apa nantinya. Pokoknya  saya jalani saja dulu proses pendidikan.  

Singkat cerita, di akhir tingkat SMA, saya mengisi blanko pendaftaran PMDK (Penelusuran Minat dan Kemampuan) untuk memilih jurusan pendidikan di perguruan tinggi sesuai minat dan bakat.  Ketika itu pilihan pertama saya adalah jurusan Sosiologi di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Bahasa Indonesia di Universitas Tadulako.  Rupanya dewi fortuna belum berpihak kepada saya.  

Setelah itu, ketika dinyatakan lulus dari SMA, saya mencoba peruntungan mendaftarkan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ternama di Jogjakarta. Ketika itu masih menggunakan sistem rayon jadi bebas memilih jurusan.  Pilihan pertama saya ambil jurusan Ilmu Pemerintahan di UGM dan Bahasa Jerman di IKIP Yogyakarta. Namun lagi-lagi keberuntungan juga tidak berpihak kepada saya.  

Karena ada tetangga kuliah di APMD (Akademi Pembangunan Masyarakat Desa), akhirnya saya juga mendaftar di perguruan tinggi swasta tersebut yang terletak di Jalan Timoho. Siapa tahu dengan menempuh pendidikan di sana bisa mewujudkan cita-cita masa kecil yaitu menjadi pegawai kecamatan.  

Satu tahun menempuh pendidikan APMD, terbersit keinginan mendaftarkan diri kembali di perguruan tinggi negeri.  Akhirnya tibalah waktu pendaftaran dan saya daftar di IKIP Yogyakarta.  Pilihan pertama yang saya ambil adalah jurusan Bahasa Indonesia dan pilihan kedua adalah jurusan Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi. Kali ini saya diterima di IKIP Yogyakarta untuk pilihan kedua.  

Semula saya akan coba merangkap kuliah. Setelah saya pikir dari segi manfaat dan peluang ke depan, kuliah di APMD saya lepas. Saya konsentrasi belajar di tempat baru.  Namun kemudian, saya sadar bahwa pilihan saya di jurusan yang baru ini tidak sejalan dengan cita-cita saya sejak kecil, yaitu sebagai seorang pegawai kecamatan. Nasi sudah menjadi bubur sehingga saya harus tetap menyelesaikannya. 

Empat setengah tahun saya menempuh pendidikan di IKIP Yogyakarta, sebuah perguruan tinggi yang sudah terkenal mampu mencetak guru berkualitas di Yogyakarta. Saya lulus pada bulan September 1992. Namun baru pada bulan Agustus 1993, saya diwisuda menyandang gelar Sarjana Pendidikan Kesehatan dan Rekreasi. 

Setelah lulus dari IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta) adalah masa-masa tersulit dalam hidup saya; sudah menyandang gelar sarjana tetapi belum mendapatkan pekerjaan yang layak yang sesuai dengan ijazah.  

Kemudian sejak tahun 1994, saya mulai mengajar di SMP Muhammadiyah Argodadi dengan honor Rp 5.000. Jumlah tersebut masih tergolong minim, akan tetapi tetap harus saya syukuri.  Untuk menambah penghasilan, saya juga membuka jasa penulisan ijazah dan data-data lainnya, termasuk pembuatan  papan nama untuk instansi pemerintahan. Honor yang saya dapatkan saya tabung di bank. Sangat bangga sekali ketika akhirnya bisa membeli sebuah sepatu dengan uang sendiri yang kala itu harganya Rp. 42.500,-

Ketika sudah memiliki niat untuk berkeluarga, saya harus mencari lapangan pekerjaan baru yang sesuai dengan ijazah dan kemampuan. Sebab, untuk menghidupi anak istri kelak dengan honor di atas jelas tidak cukup. 

Setelah ditimbang-timbang, merantau adalah jalan keluar satu-satunya untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Dengan bekal ilmu yang didapat dari bangku kuliah, saya merantau ke luar pulau. Provinsi Nusa Tenggara Barat menjadi tujuan yang kebetulan ada sanak saudara yang ada di sana.  

Sebagai langkah awal, saya mendaftar sebagai guru Penjasorkes di SMAK Kesuma, Cakranegara, Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat.  Saya diterima menjadi guru tidak tetap di sekolah Katolik tersebut.  Meskipun saya mengajar di sekolah yang berbeda keyakinan, namun nampak sekali warna toleransi beragama di antara siswa, guru, karyawan tata usaha.  Kehidupan beragama di sekolah tersebut  seperti di negara kita tercinta. Guru, karyawan, dan siswa tidak hanya beragama Katolik saja, tapi juga ada yang beragama Kristen, Khong Hu Cu, Hindu, Budha, serta Islam.

Di SMAK Kesuma Cakranegara, saya merasakan telah menjadi guru yang sebenarnya. Bagaimana tidak, hampir setiap hari mulai pukul enam pagi, saya sudah berada di lapangan Mataram untuk mengajar. Jarak lokasi tersebut sekitar 6 Km dari tempat tinggal yang saya tempuh dengan menaiki sepeda onthel. Kira-kira membutuhkan waktu sekitar 15-20 menit untuk sampai.  Sorenya, masih harus membimbing ekstrakurikuler bulutangkis dan tenis meja. Terkadang baru bisa pulang setelah terdengar adzan Maghrib. 

Bulan September 1994, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) membuka formasi lowongan CPNS guru dan tenaga kependidikan untuk wilayah Provinsi NTB. Sambil mengajar di SMAK Kesuma Cakranegara, saya mencoba peruntungan mendaftar.  Alhamdulillah, setelah melalui beberapa tahap akhirnya saya diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di SMAN 1 Sikur, Kabupaten Lombok Timur.  Bulan November 1994, walaupun SK CPNS belum terbit, saya bersama dengan delapan rekan CPNS lainnya sudah harus berdinas di sekolah yang baru.  

Pengalaman menjadi guru honorer  di SMP Muhammadiyah Argodadi dan di SMAK Kesuma betul-betul sangat berharga bagi saya, menjadi modal untuk menjadi seorang guru yang sesungguhnya.  Ketika ditempatkan di sekolah yang baru, membuat saya mau tidak mau harus bisa adaptasi dengan adat dan kebiasaan baru yang ada di sekolah. 

Suka dan duka saya lalui. Hidup di rantau orang,  jauh dari orang tua, dan sanak saudara tentu membuat sedih dan galau. Maklum, sebelumnya saya memang belum pernah sekalipun merantau keluar kota, apalagi ke luar pulau. Ingin sekali rasanya untuk pulang ke kampung halaman.  Namun perasaan itu saya tepis jauh-jauh, buat apa pulang ke kampung halaman jika cuma  menambah pengangguran.  

Selama di rantau, hal yang membuat saya terhibur adalah siswa yang santun dan tawadhu’ pada guru. Di samping itu,masyarakat di lingkungan tempat saya tinggal agamis dan ramah. Semua itu yang membuat saya bisa bertahan di lingkungan masyarakat Dusun Gerami.  

Pada tahun 2002 dengan alasan untuk menemani dan merawat orangtua, saya mengajukan pindah tugas dari Provinsi NTB ke daerah asal yakni di Provinsi DI Yogyakarta.  Walaupun harus berpindah lintas departemen dari Dikbud ke Depag, akhirnya saya bisa pindah tugas dan kembali ke daerah asal untuk merawat, menemani orang tua sampai beliau dipanggil yang kuasa.  

Dari tahun 2003 sampai sekarang, saya bertugas di MAN 1 Bantul, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta.  

Menjadi guru adalah profesi yang sangat mulia, karena dapat memberikan dan menularkan ilmu yang didapat kepada anak didik.  Setelah menjadi guru selama kurang lebih 28 tahun, suka duka sudah pernah saya alami.  Senangnya sebagai guru, setiap hari bisa  bersenda gurau dengan siswa sehingga segala kesusahan dan kesedihan bisa hilang. Sedihnya, kala harus menghadapi siswa yang membuat gemas, jengkel, yaitu siswa-siswa yang ‘ndableg’. 

Menjadi guru memang tidaklah mudah, tetapi bila dijalani dengan ikhlas dan rela, semuanya akan menjadikan berkah bagi kita. Saya bangga menjadi guru dan akan berusaha untuk memberikan ilmu dan membimbing siswa-siswa saya sebaik mungkin. Walaupun rasanya belum maksimal, tetapi setidaknya saya akan terus berusaha untuk memberikan yang terbaik sehingga kelak akan menjadi bekal untuk masa depan mereka.  Dengan menjadi guru ini, saya telah banyak belajar tentang hidup, arti sabar, dan ikhlas. (*)

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Editor: Moh. Haris Suhud

Berita Terkait

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza
Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat
Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya
Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa
Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN
Merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan Sederhana
Supar: Anak Perbatasan yang Sukses Wujudkan Impian Jadi Guru
Perjalanan Umroh yang Penuh Magis 
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 13 Maret 2024 - 11:34 WIB

Di Tengah Peperangan, Begini Cara Guru Palestina Tetap Mengajar Anak-anak Gaza

Minggu, 20 Agustus 2023 - 21:20 WIB

Berpuluh Tahun Mengajar, Damin Dikenang sebagai Pahlawan yang Tinggalkan Jejak di Hati Masyarakat

Minggu, 2 Juli 2023 - 22:08 WIB

Mengesankan, Guru Asal Wonogiri Fasih Bahasa Inggris hingga Viral Karena Konten Uniknya

Selasa, 6 Juni 2023 - 19:26 WIB

Kisah Kepala Sekolah Muda Asal Semarang Memik Nor Fadilah: Tumbuhkan Kepemimpinan Melalui Kedekatan dengan Siswa

Senin, 5 Juni 2023 - 19:30 WIB

Perjuangan Ana Rahmawati, Guru Asal Pati yang Mengajar Penuh Dedikasi Sembari Menanti Keputusan Penempatan ASN

Sabtu, 22 April 2023 - 18:53 WIB

Merayakan Hari Raya Idul Fitri dengan Sederhana

Jumat, 21 April 2023 - 14:05 WIB

Supar: Anak Perbatasan yang Sukses Wujudkan Impian Jadi Guru

Jumat, 21 April 2023 - 13:40 WIB

Perjalanan Umroh yang Penuh Magis 

Berita Terbaru