Oleh Nadrita, S.Pd.I.
Guru di MIN 17 Pidie
Mutasi atau pergantian Kepala Madrasah kerap dilakukan untuk penyegaran dan perbaikan. Bagi kami para guru, setiap mutasi Kepala Madrasah selalu kami sambut dengan antusias demi perbaikan-perbaikan dan mungkin ada ide-ide baru yang akan dikembangkan.
Masih terekam dalam ingatan saat pergantian Kepala Madrasah beberapa tahun yang lalu. Kebetulan mutasi saat itu terjadi tiga bulan sebelum tahun ajaran baru di mulai. Kepala Madrasah mulai mengamati dan mengevaluasi program-program terdahulu.
Dari Bagian Pengajaran, kami mendapat bocoran terobosan dari Kepala Madrasah yang baru yaitu akan membentuk kelas pembinaan. Kelas tersebut nantinya akan diisi oleh anak-anak yang kurang termotivasi dalam belajar dan juga anak-anak yang terkenal agresif.
Pembicaraan tentang kelas bengkel makin hangat di kalangan para guru bahkan banyak yang menyatakan ketidaksanggupannya. Siapa yang siap mental jika menghadapi kelas isinya anak-anak yang sangat agresif dan juga lemah dalam motivasi pembelajaran. Tentunya jika ada opsi untuk memilih, pastinya semua akan menolak dengan berbagai macam alasan.
Setelah pembagian rapor, dilanjutkan dengan rapat pembagian tugas. Saat itu Kepala Madrasah yang baru menyampaikan pembaharuan yang ingin dilakukan dan hasil yang ingin dicapai dari perubahan yang dilakukannya, termasuk dengan pembentukan kelas pembinaan atau kelas bengkel tersebut. Suasana rapat mulai tegang karena Kepala Madrasah mengatakan sudah menetapkan siapa yang akan menjadi wali kelas sekaligus melaksanakan pembelajaran (PBM) di kelas tersebut. Hal itu jelas membuat ketar-ketir dewan guru karena siapa pun yang akan ditunjuk oleh Kepala Madrasah harus siap melaksanakannya.
Tiba saatnya penunjukan wali kelas untuk kelas bengkel tersebut. Betapa kagetnya diri ini saat nama saya disebut, seakan sebuah bom jatuh tepat di atas kepala. Tepuk tangan dan sorak-sorai dari rekan guru seakan menyadarkan untuk segera bangun dari lamunan. Dengan muka pucat dan gemetar saya ajukan keberatan kepada Kepala Madrasah di ruang rapat. Di hadapan rekan-rekan guru yang lain, saya mengakui bahwa tidak berkompeten melakukan PBM di kelas bengkel.
Kepala Madrasah tidak menerima keberatan dari saya, beliau hanya tersenyum kemudian meminta saya untuk menemuinya di ruang kerjanya setelah rapat selesai. Saya mengikuti rapat dengan perasaan kacau, tidak bersemangat dan putus asa.
Setelah rapat, saya enggan menemui Kepala Madrasah. Hati saya masih diliputi perasaan marah, sedih, dan lain sebagainya. Saya duduk lunglai di meja kerja sambil menerima ucapan selamat dari rekan-rekan guru lainnya. Mereka menyodorkan tangan sambil bercanda dan tertawa. Di antara dewan guru, kami sering bercanda satu sama lain untuk menghangatkan suasana. Naasnya kali ini saya yang dijadikan bahan candaan bagi mereka.
Di tengah keriuhan suasana itu, tiba-tiba datang seorang guru yang menyampaikan bahwa Kepala Madrasah menunggu kedatangan saya. Dengan langkah malas, saya seret sepatu ke ruang Kepala Madrasah.
Tanpa basa-basi, beliau langsung memulai obrolan. Beliau mengatakan bahwa sudah melakukan pengamatan sejak pindah ke madrasah kami. Dan menurut beliau, saya adalah orang yang tepat untuk membimbing anak-anak di kelas bengkel tersebut. Kemudian saya bertanya atas dasar apa beliau mengatakan seperti itu. Beliau menyampaikan pandangan terhadap kinerja saya kemudian berjanji akan mendukung saat saya mengalami kendala maupun kesulitan di kelas tersebut .
Sebuah kata menyentuh diucapkan Kepala Madrasah. Beliau mengatakan kalau bukan kita yang membimbing mereka, siapa yang akan peduli, haruskah mereka seperti ini selamanya?
“Bu, tugas kita hanya membimbing bukan membuat mereka pintar. Mereka akan pintar dengan sendirinya dengan bimbingan dari kita. Lihat, Bu, wajah polos mereka. Mereka butuh kita di tengah persoalan hidup mereka.”
Saya pun tersentuh dan berjanji akan berusaha semampu saya untuk membimbing mereka supaya mereka menjadi lebih baik lagi baik dari segi akhlak, pengetahuan, dan agama.
Malam hari saat suami pulang kerja, saya ceritakan bahwa saya mendapat kepercayaan untuk menjadi wali kelas untuk kelas pembinaan tersebut. Saya utarakan kekhawatiran saya. Kemudian suami menguatkan saya dan mengatakan kalau saya mampu dan harus semangat. Berbekal dengan dukungan Kepala Madrasah dan suami tercinta, selama liburan saya mulai merancang PBM dan strategi-strategi, di samping menguatkan mental sendiri.
Hari pertama tahun ajaran baru pun tiba. Tekad dalam hati sudah bulat, apapun yang terjadi saya harus siap mental.Tentunya karena ini program pertama dari Kepala Madrasah baru, pasti banyak yang keberatan dari sisi siswa maupun wali muridnya.
Begitu saya tiba di kelas, tidak ada satu pun siswa berada di kelas. Beberapa wali murid yang akrab dengan saya bertanya mengapa kelas saya kosong, tidak ada satu anak pun. Saya pun berseloroh bahwa saya akan mencari para siswa sendiri.
Tidak mudah membujuk anak-anak untuk masuk ke kelas pembinaan tersebut karena dalam pemikiran mereka kelas bengkel itu sesuatu yang memalukan dan siapa yang ditentukan di kelas tersebut akan mendapat ejekan dari teman-temannya. Kelas pertama yang saya datangi, berhasil merayu siswa yang sudah ditentukan untuk berada di kelas bengkel walaupun diselingi dengan drama. Di kelas kedua tidak ada kendala. Dua kelas selanjutnya yang saya datangi membutuhkan tenaga ekstra karena ada penolakan yang luar biasa dari siswa dan wali murid. Tetapi alhamdulillah setelah mendengar penjelasan saya, mereka dengan senang hati mau masuk ke kelas pembinaan.
Saat pertama kali masuk untuk melaksanakan PBM di kelas pembinaan, saya dibuat tercengang dengan tingkah mereka. Hanya tiga orang yang menjawab salam, yang lainnya seolah tak peduli dengan kedatangan saya. Mereka terus saja bersenda gurau. Saya cuma duduk diam sambil terus memperhatikan mereka .
Akhirnya setelah hampir dua puluh menit, ada anak yang mencoba mengingatkan teman-temannya bahwa saya sebagai guru di depan kelas. Kemudian mereka bertanya, ’’Pelajaran apa, Bu ?’’
“Untuk hari in kita tidak belajar. Ibu cuma ingin duduk dengan kalian dan bermain games,” jawab saya. Mereka bersorak-sorak kegirangan. Dengan cepat saya tambahkan, “Namun untuk kenyamanan kita, alangkah baiknya kelas kita rapikan terlebih dahulu.’’
Dengan sigap mereka langsung merapikan kelas. Meja dan kursi yang tadinya tidak rapi menjadi sedikit rapi. Saya tersenyum simpul, langkah pertama saya rasa berjalan sukses walaupun tidak seratus persen tapi menambah optimistis saya. Insya Allah akan ada perubahan kecil dalam diri anak-anak pembinaan ini.
Langkah selanjutnya saya mulai membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Fokus utama saya adalah membimbing akhlak dan baca al-Qur’an. Alhamdulillah, Kepala Madrasah menyediakan jam pagi sebelum jam pelajaran untuk bersama-sama belajar membaca al-Qur’an selama tiga puluh menit setiap hari. Setelah satu tahun dalam bimbingan, mereka menjadi lancar membaca al-Qur’an.
Materi pembelajaran tidak terlalu menjadi tujuan saya pada dua bulan pertama, akan tetapi saya mencoba menyelami dan membimbing kelemahan mereka. Misal, yang belum lancar membaca, menulis, lemah pemahaman, dan lain sebagainya. Setiap hari tanpa henti bahkan sampai jam istirahat pun tidak saya gunakan istirahat, saya bimbing yang belum mendapat bimbingan.
Ada kejadian di mana saat Kepala Madrasah sedang berkeliling di saat jam istirahat. Karena melihat ada gerombolan anak-anak yang sedang mengerubungi meja guru, beliau penasaran kemudian mendekat sambil tersenyum.
“Di sini rupanya Ibu, makanya di kantor tidak kelihatan.”
“Iya, Pak. Ada beberapa yang harus mendapat tambahan,” jawab saya.
Pendekatan terus saya lakukan supaya akhlak anak-anak berubah menjadi lebih santun dan materi pembelajaran sedikit demi sedikit mulai saya kejar supaya anak-anak tidak ketinggalan dari kelas yang lain mengingat mereka juga akan mengikuti ujian akhir madrasah.
Setelah ujian semester seperti biasa, madrasah menyelenggarakan lomba ekstrakurikuler salah satunya adalah lomba cerdas cermat. Saya pun mulai mempersiapkan anak-anak kelas pembinaan untuk mengikuti lomba tersebut. Mulanya anak-anak tidak bersemangat dan tidak percaya diri. Menurut mereka kalau ikut lomba akan mempermalukan karena kelas yang lain dianggap lebih unggul. Saya menyemangati mereka dengan mengatakan bahwa kelas kita tidak perlu harus menjadi juara, yang terpenting kita ikut dan berusaha tampil sebaik mungkin.
Akhirnya mereka sepakat untuk ikut. Saya terus membimbing mereka dengan latihan soal-soal dan terus memupuk rasa percaya diri mereka. Hasil tidak akan mengkhianati usaha. Dalam lomba tersebut kelas pembinaan berhasil menjadi juara kedua, sedangkan juara pertama diraih oleh kelas unggulan.Walaupun hanya di urutan kedua, banyak guru bahkan Kepala Madrasah tidak menyangka. Bagi saya, gelar juara ini hanya bonus dari Allah dan tumbuhnya rasa percaya diri yang paling penting.
Saat pembagian hadiah di halaman madrasah, terlihat wajah bahagia dan percaya diri. Mereka yang tadinya malu, menganggap diri mereka tidak mampu, nyatanya berani bersaing dengan teman-teman kelas yang lain.
Kebahagiaan terbesar dari seorang guru adalah melihat keberhasilan anak didiknya. Tidak semua yang buruk harus ditinggalkan, kalau kita mau membimbing, insya Allah hasilnya baik. (*)
NOTE: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam format buku antologi “Praktik Baik”—yang berisi kisah dan pengalaman terbaik para guru dalam mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses mendidik siswa.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.