Oleh Deny Susilowati, S.Pd.SD
Guru di SD Negeri Panggung Lor, Semarang
Sebagai guru yang sudah cukup lama mengampu kelas 1 di sekolah dasar, hampir setiap tahun selalu menghadapi sikap dan sifat siswa yang unik.
Dengan sikap anak-anak kecil kelas 1 SD yang cenderung polos ini sering membuat tersenyum sekaligus menjadi tantangan. Kadang terdapat sejumlah siswa yang menangis saat diantar ke sekolah, minta ditunggu seperti anak usia dini. Hal ini membuat saya sebagai guru kelas 1 merasa tertantang untuk berupaya mencari solusi agar anak itu bisa mandiri dan percaya diri belajar di sekolah. Komunikasi dan kerja sama dengan orang tua siswa selalu diupayakan agar anak bisa mandiri dan nyaman belajar di sekolah.
Pada tahun pelajaran 2019, ada siswa baru kelas 1 yang masih minta ditunggui saat belajar di sekolah. Anak tersebut berusia 7 tahun yang seharusnya sudah siap masuk sekolah SD. Sementara itu, sebagian besar siswa bisa mengikuti dengan semangat riang gembira serta percaya diri. Akan tetapi siswa satu tersebut masih ingin ditunggui saat belajar di sekolah. Bila ibunya keluar halaman sekolah, anak itu langsung mencarinya dan menangis. Hal ini membuat suasana belajar menjadi terganggu.
Pada suatu saat, anak itu saya ajak ke ruang guru dengan tujuan agar teman-teman yang lain tidak terganggu. Sebagai guru, saya harus berupaya mencari solusi agar anak itu mau belajar bersama teman-temannya di sekolah.
Adapun hal pertama yang saya lakukan adalah menjalin komunikasi yang baik dengan ibu anak tersebut. Saya minta ibunya untuk bercerita tentang anaknya kenapa bila ditinggal sering menangis. Setelah menceritakan penyebabnya, maka saya meminta agar ibu anak tersebut menunggu di luar halaman sekolah. Ia mau mengikuti saran saya.
Begitu anak tersebut sudah tampak sedikit asyik belajar di kelas, sang ibu pulang. Namun pada saat jam istirahat, anak itu selalu mencari ibunya. Untuk mencegah hal tersebut, saya minta teman-temannya untuk mengajaknya bermain. Tapi tetap saja, anak itu mencari ibunya sambil menangis.
Bel berbunyi tanda masuk kelas, anak-anak yang lain masuk kelas dengan tertib. Anak itu memang ikut masuk kelas namun dengan muka yang tampak sedih sedih. Entah mengapa dia ketakutan ditinggal ibunya. Ada satu hal yang membuat penasaran dalam hati ini.
Suatu hari saat sang ibu menjemput anaknya pulang sekolah, saya ajak ke ruang kantor untuk konfirmasi kembali mengapa setiap ke sekolah selalu minta ditunggui. Ibu tersebut lantas menceritakan bila anak tersebut sering diejek oleh kakaknya di rumah. Setelah bercerita banyak hal tentang kehidupan anak itu di rumah, maka saya minta tolong agar kakak anak itu yang mengantar ke sekolah.
Pagi-pagi anak itu sudah sampai di sekolah dengan wajah ceria. Ternyata dia diantar oleh kakaknya yang rupanya sudah bekerja. Maka kakak anak itu saya ajak ngobrol tentang adiknya yang sering menangis bila ditinggal di sekolah. Saya memberikan saran sang kakak agar lebih menyayangi adiknya yang sebenarnya butuh perhatian darinya. Buktinya, setelah diantar oleh kakak, anak itu mau belajar tanpa menangis. Saran saya lagi untuk kakak agar memberikan pujian untuk sang adik jika sudah bisa mandiri belajar atau memberikan hadiah bila nilai hasil belajarnya di sekolah bagus.
Setelah saya amati, anak ini memang memiliki sifat pemalu dan kurang percaya diri. Dengan komunikasi yang baik dengan pihak orang tua atau keluarganya diharapkan membuat masalah anak tersebut menjadi terpecahkan. Sehingga harapannya bisa mandiri dan dapat bermain bersama teman-teman seperti anak pada umumnya.
Anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang berbeda-beda baik dari segi karakter atau status sosial ekonominya. Semua itu akan mempengaruhi sikap dan perilaku siswa. Di sekolah, guru hanya dapat memberikan bimbingan dan perhatian yang sama tanpa membeda-bedakan latar belakang keluarga atau status sosial. Karena mereka adalah anak-anak yang memerlukan bimbingan dan pengajaran untuk masa depan yang lebih baik tentunya. Namun yang paling utama memberikan pengaruh adalah lingkungan keluarga.
Di dalam proses pendidikan anak di sekolah, sekolah memiliki tata tertib yang sudah tertulis dan disampaikan pada seluruh siswa agar mematuhinya. Akan tetapi terkadang masih saja terjadi pelanggaran. Salah satu contoh pelanggaran yang umum dilakukan siswa adalah datang terlambat ke sekolah, siswa yang berbicara kurang sopan atau bicara “ kotor “ di sekolah. Maka tugas guru menasihati dan membimbingnya dengan cara memberi sanksi yang bertujuan untuk mendidik kepada siswa.
Pada suatu hari, saya pernah menjumpai siswa yang berbicara “ kotor “ kepada temannya. Anak-anak yang mendengar itu langsung lapor kepada guru kelas. Melihat masalah itu, kemungkinan anak tersebut menirukan orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya. Tetapi anak tersebut tidak tahu bila perkataan yang diucapkan tersebut tidak sopan atau tidak pantas diucapkan. Faktanya, anak-anak kecil seringkali meniru sikap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Entah dari perkataan atau perilaku orang tuanya.
Lingkungan sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan anak. Untuk itu sekolah perlu memberikan pembiasaan baik yang bermanfaat bagi para siswa. Salah satu contohnya dengan kegiatan Jumat Bersih atau kegiatan literasi. Penanaman pembiasaan baik berupa kegiatan apel pagi dan himbauan dari para guru juga perlu terus dilakukan, agar para siswa memiliki karakter yang baik.
Dukungan keluarga sangatlah penting dalam pendidikan anak. Sedangkan upaya guru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai pengajar dan pendidik diperlukan kesabaran dan kesungguhan. (*)
NOTE: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam format buku antologi “Praktik Baik”—yang berisi kisah dan pengalaman terbaik para guru dalam mengatasi masalah yang dihadapi dalam proses mendidik siswa.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
Editor: Moh. Haris Suhud, S.S.