Mewujudkan Sekolah Merdeka dari Kekerasan Seksual

- Editor

Selasa, 28 Desember 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 Oleh Susyati, S.Pd

Guru di MTs Negeri 3 Cilacap

Indonesia tengah menghadapi lonjakan masif kasus kekerasan seksual. Lembaga pendidikan, khususnya sekolah tak luput dari ancaman. Diperlukan sinergi dari semua pihak untuk mewujudkan lingkungan sekolah yang aman dari kekerasan seksual.

Belakangan ini, publik Indonesia dikejutkan dengan maraknya berita kekerasan seksual yang terjadi di berbagai daerah. Masalah tersebut seperti fenomena gunung es di lautan, yang hanya nampak sebagian di permukaan, namun mengakar dalam dan luas di dasar. Kasus demi kasus pun kian bermunculan. 

Dilansir dari laman resmi Komnas Perempuan, sekurang-kurangnya terdapat 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang diterima dalam kurun waktu Januari-Oktober 2021. Jumlah tersebut adalah dua kali lipat lebih banyak dari kasus di tahun 2020 dan masih didominasi oleh kasus kekerasan seksual.

Fakta lain yang tak kalah mengiris hati adalah korban maraknya kasus kekerasan seksual tersebut didominasi oleh perempuan dan anak. Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kelompok perempuan dan anak masih menjadi pihak yang paling rentan terdampak. Ironisnya, hal tersebut diperparah dengan fakta mayoritas pelaku berasal dari lingkungan terdekat korban seperti orang tua, paman, kakek, kakak, tetangga, bahkan guru. Miris sekali!

Kekerasan Seksual Tak Pandang Bulu            

Kasus-kasus kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kota-kota besar, melainkan telah terbukti menjangkiti berbagai daerah di nusantara. Hari demi hari, kita dapati berita-berita serupa dari berbagai penjuru negeri mengenai hal tersebut terus bertambah. 

Kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender. Artinya, tindakan ini bisa saja dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki. Sebaliknya, laki-laki dan perempuan pun sama-sama berpotensi menjadi korban. Di sisi lain, relasi atau status hubungan korban dengan pelaku pun tak bisa jadi jaminan bahwa seseorang akan aman dari ancaman tersebut. Terbukti, banyak kasus dilakukan oleh orang-orang terdekat korban seperti pacar, suami-istri, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, tetangga, guru, hingga orang yang tak dikenal.

Selain itu, kekerasan seksual tak pandang lokasi. Artinya, ia bisa saja terjadi di lingkungan rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus. Baru-baru ini kita dikejutkan dengan fakta puluhan siswi sekaligus santriwati di sebuah lembaga pendidikan keagamaan atau pesantren yang menjadi korban kebejatan guru ngajinya sendiri. Seolah tak cukup hanya dilecehkan hingga hamil dan melahirkan, anak-anak hasil perbuatan tersebut pun diperalat untuk mendulang dana umat. 

Hal ini menjadi tamparan keras bagi kita selaku pendidik. Tidak ada jaminan lingkungan kita akan aman dari ancaman kekerasan seksual. Maka dari itu, sudah semestinya kita perlu melakukan upaya-upaya pencegahan agar tercipta ruang aman bagi civitas akademik sekolah.

Upaya Pencegahan Kekerasan Seksual

Untuk mengantisipasi ancaman terjadinya kekerasan seksual di lingkungan sekolah, hal-hal preventif perlu dilakukan. Hal utama yang perlu dilakukan adalah pengenalan sejak dini akan informasi-informasi penting berkaitan dengan kekerasan seksual itu sendiri. 

Pertama, kita perlu mengetahui definisi dari kekerasan seksual. Dikutip dari sehatq.com, kekerasan seksual adalah semua perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang secara paksa tanpa memandang status hubungannya dengan korban (WHO, 2017).         

Kedua, mengetahui jenis-jenis kekerasan seksual. Dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU-TPKS) disebutkan bahwa kekerasan seksual di antaranya adalah: tindak pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan, pelecehan fisik dan non-fisik, eksploitasi seksual, dan pemaksaan kontrasepsi.

Ketiga, mengetahui faktor pemicu maraknya kasus kekerasan seksual. Yayasan Pulih yang merupakan yayasan penyedia layanan konseling pemulihan trauma dan penguatan psikososial menyebutkan sekurang-kurangnya ada 3 faktor, yakni faktor budaya yang menganggap perempuan sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki, membuat perempuan dan anak menjadi pihak yang didominasi sehingga rentan dilecehkan; belum adanya aturan hukum yang mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual; dan terakhir penanganan yang terkesan lamban dari pihak berwenang dalam mengusut kasus-kasus yang bermunculan.

Keempat, kita perlu mengetahui dampak yang ditimbulkan dari tindak kekerasan seksual pada korban, di antaranya: hilangnya kepercayaan pada diri sendiri dan orang lain, trauma, perasaan tidak berdaya, hingga stigmatisasi sosial.

Beberapa informasi di atas adalah bekal bagi kita untuk dapat mengantisipasi dan menghindari ancaman kekerasan seksual. Informasi tersebut juga akan sangat berguna bagi kita saat terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan terdekat kita, sehingga kita dapat mengambil langkah tepat dalam upaya penanganannya.    

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual adalah Tanggung Jawab Bersama

Tak bisa ditawar, kekerasan seksual harus kita lawan tanpa gentar. Semua pihak-pihak terkait, seperti institusi sekolah, keluarga, masyarakat umum dan pemerintah perlu bersinergi melakukan perannya masing-masing untuk meminimalisir kasus kekerasan seksual terutama di lingkungan sekolah.

Pihak sekolah bisa memulai dengan memberikan pendidikan seks kepada para siswa. Jika kondisinya memungkinkan, pihak sekolah bisa merancang kegiatan bersama bagi siswa dan orang tua untuk meningkatkan bonding di antara keduanya, sehingga terbangun hubungan yang erat dan terbuka antara siswa, orang tua, dan pihak sekolah. 

Selanjutnya, pihak sekolah bisa membangun kerja sama dengan lembaga-lembaga yang konsen melakukan edukasi atau penyuluhan anti kekerasan seksual. Terakhir, pihak sekolah melalui guru BK dapat mengadakan program konseling atau membentuk badan khusus yang dapat menampung aduan dan laporan terkait indikasi perilaku kekerasan seksual di sekolah.

Dalam lingkup keluarga, orang tua hendaknya melakukan perannya sebagai orang dewasa yang melindungi, memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak, sehingga rumah menjadi ruang aman dan nyaman bagi anak. 

Orang tua sebaiknya mengenalkan pendidikan seks pada anak sejak dini, sehingga ia tidak menjadi bahasan yang tabu. Selain itu, orang tua perlu mengarahkan dan mengawasi pergaulan juga kegiatan anak sehari-hari. Selanjutnya, perlu ditanamkan sikap terbuka pada sesama anggota keluarga agar tercipta iklim demokratis di lingkungan keluarga.

Masyarakat memiliki peran tak kalah penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Kesadaran masyarakat perlu dibangun untuk meluruskan stereotip dan stigma negatif yang selama ini cenderung melekat pada perempuan. Masyarakat perlu diedukasi untuk berpihak pada korban dan tidak menyalahkan korban saat terjadi kasus kekerasan seksual. Masyarakat melalui komunitas-komunitas yang ada, dapat berpartisipasi aktif dalam kampanye anti kekerasan seksual.

Pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan, sudah semestinya segera mengerjakan PR terbesarnya untuk menyediakan payung hukum bagi kasus kekerasan seksual. Peraturan yang tegas dan jelas terkait isu ini mendesak untuk secepatnya diberlakukan, mengingat jumlah kasus yang makin membludak seiring waktu. 

Kabar baik datang dari perjalanan panjang RUU TPKS yang telah bertahun-tahun diperjuangkan oleh berbagai pihak, akhirnya menemui titik terang. Jika tidak mengalami kendala, pada bulan Desember 2021 RUU TPKS akan disahkan. 

Selain itu, Kemendikbud Ristek mengambil inisiatif untuk membentuk peraturan menteri (permen) terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di ranah kampus. Hal ini menjadi angin segar bagi semua pihak yang telah lama menantikan adanya perubahan terkait langkah konkret pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Namun, kita tidak boleh lengah. Kita harus tetap mengawalnya sampai legal.

Dengan memaksimalkan peran semua pihak, kekerasan seksual akan bisa diminimalisir. Jika aturan telah ditegakkan, dan semua pihak bersinergi melawan kekerasan seksual, ruang aman di tengah masyarakat dan lingkungan akan bisa diwujudkan, termasuk di lingkungan sekolah. 

Sekolah merdeka tanpa kekerasan seksual semoga bukan hanya menjadi jargon semata, melainkan dapat terealisasi secara nyata.

Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Berita Terkait

Pemanfaatan Teknologi untuk Pembelajaran Kreatif dan Interaktif
Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?
Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar
Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan
Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045
Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik
Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak untuk Mensuksekan Kurikulum Merdeka
Penerapan Student Lead Conference untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Peserta Didik
Berita ini 6 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 18 November 2024 - 20:12 WIB

Pemanfaatan Teknologi untuk Pembelajaran Kreatif dan Interaktif

Rabu, 4 September 2024 - 10:05 WIB

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?

Kamis, 15 Agustus 2024 - 23:11 WIB

Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar

Kamis, 15 Agustus 2024 - 22:44 WIB

Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan

Rabu, 14 Agustus 2024 - 14:52 WIB

Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045

Berita Terbaru

Unduh Sertifikat Pendidikan 32 JP Gratis