Oleh Muhtar Arifin, Lc., M.H.
Pengajar di Ma’had Ali Al-Furqon Magelang
Salah satu nikmat yang amat besar yang diberikan oleh Allah untuk saya adalah dijadikan sebagai seorang guru. Dengan mengajar, saya dapat mendidik putra-putri warga masyarakat untuk meningkatkan diri dan mengembangkan potensi yang mereka miliki. Menjadi seorang pengajar juga dapat menjadikan para peserta didik menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Saya terlahir di sebuah kampung yang jauh dari perkotaan. Kampung tersebut terletak di dekat gunung berapi. Saya tumbuh dalam keluarga yang sangat sederhana. Ayah telah meninggal sebelum saya lahir. Dan Ibu memiliki sebuah harapan besar, semoga anak-anaknya dapat lebih baik daripada orang tuanya.
Ketika masih duduk di bangku sekolah, di antara cita-cita saya adalah menjadi guru. Saat itu saya tertarik dengan keceriaan yang saya lihat dari Bapak dan Ibu guru yang mengajari saya. Tidak ada seorang guru pun yang mengajar, melainkan mereka mengajari dengan penuh kegembiraan dan nampak kebahagiaan di wajah-wajah mereka.
Dan ternyata Allah di kemudian hari memang memberikan jalan untuk saya untuk menjadi seorang pengajar. Sekiranya tidak ada pertolongan Allah, maka saya tidak akan dapat menjadi seorang pengajar.
Setelah belasan tahun mengajar, saya merenungkan tentang makna yang terkandungan dalam profesi mengajar. Ternyata kata “mengajar” bukanlah hanya sekadar menyampaikan pelajaran, akan tetapi di dalamnya mengandung berbagai makna yang mendalam. Di antara kandungannya adalah sebagai berikut:
1. Mengajar berarti tergerak untuk belajar
Dalam pepatah Arab dikatakan, “Orang yang tidak memiliki tidak dapat memberi”. Artinya, sebelum mengajar, seorang pengajar harus membekali diri untuk dapat menguasai apa yang akan diajarkan. Selain itu juga belajar bagaimana cara menyampaikan pelajaran dengan semestinya. Mengajar tanpa perbekalan, laksana seorang yang berperang tanpa modal senjata apapun.
Pembekalan diri ini dilakukan dengan belajar kepada para guru di bangku sekolah dan para dosen di bangku kuliah. Dengan ber-talaqqi (berguru kepada pengajar secara langsung) di majlis-majlis ilmu, maka seseorang akan dapat memperoleh ilmu dan pemahaman.
Belajar secara langsung ini penting, sebagaimana malaikat Jibril mengajari Rasulullah Al-Qur’anul Karim yang dilakukan secara langsung. Dalam Hilyah Thalibil ‘Ilm (hlm. 30) pundi jelaskan bahwa hukum asal dalam belajar adalah berguru secara langsung.
Selain ber-talaqqi, belajar dilakukan juga dengan membaca literatur yang telah tersebar dan bertanya kepada para pakar. Jika memang dibutuhkan, maka harus meminjam atau membeli referensi untuk mengajar.
Termasuk langkah praktis untuk belajar bagi seorang guru terutama di era digital ini yaitu dengan mengikuti Webinar.
2. Mengajar artinya terus berlatih untuk sabar
Murid yang kita ajari tentu tidak sama dalam hal kecepatan memahami pelajaran. Ada yang cepat memahami dan ada yang membutuhkan proses yang agak panjang. Ketika menghadapi murid yang tidak segera paham, seorang guru sangat butuh untuk berlatih sabar menghadapinya.
Salah satu jalan menyabarkan diri adalah dengan mengingat bahwa kita bisa menjadi guru juga dengan melewati sebuah proses. Demikian pula kita menyikapi seorang murid yang masih proses. Maka mengajar yang sukses adalah memahami peserta didik yang sedang proses.
Dengan kesabaran dalam memberikan pembelajaran kepada siswa, nikmatnya mengajar akan menjadi tetap ada dan tidak lenyap. Dalam Shahih Targhib terdapat sebuah hadits yang berderajat hasan, “Sesungguhnya Allah memiliki beberapa kaum yang mendapatkan kekhususan berupa nikmat-nikmat untuk memberikan manfaat kepada para hamba-Nya. Apa yang mereka berikan akan membahagiakan mereka. Jika mereka enggan memberikannya, maka akan dicabut dari mereka, lalu dipindahkan kepada orang lain.”
3. Mengajar berarti berinovasi dalam berikhtiar
Dari perjalanan mengajar selama ini, saya juga mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa mengajar membutuhkan inovasi dalam penyampaian pelajaran. Dengan suatu cara tertentu mungkin belum dapat dipahami dengan baik, maka harus dicari cara lain agar dipahami dengan maksimal. Dengan demikian, mengajar bukan sekedar menyampaikan materi semata.
Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Nabi membuat garis-garis ketika menjelaskan tentang banyaknya jalan kesesatan. Hal itu beliau lakukan agar mudah dipahami oleh para sahabat. Dengan gambar visual, maka akan dapat dimengerti dengan jelas.
Selain dengan penjelasan lisan, di antara bentuk inovasi dalam pengajaran adalah dengan membaca kitab yang dipelajari, dibuatkan skema, dan dibuatkan contohnya. Di samping itu, jika dengan sekali penjelasan belum dipahami, maka perlu untuk mengulangi dalam menjelaskan dan menyimpulkan. Jadi, mengajar berarti selalu berinovasi dalam berikhtiar untuk menjadikan para murid paham materi yang disampaikan.
4. Mengajar berarti dermawan dengan ilmu
Dermawan memiliki bentuk yang bermacam-macam, salah satunya adalah dermawan dengan ilmu. Profesi mengajar memotivasi seseorang untuk selalu dermawan dengan ilmu yang dimilikinya. Dan Imam Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin menyebutkan bahwa dermawan dengan ilmu termasuk bentuk kedermawanan yang paling utama.
Dengan berusaha berbagi ilmu, maka ilmu yang sudah dimiliki tidak hilang, bahkan semakin bertambah. Hal itu sebagaimana perkataan Abu Ishaq Al-Ilbiri dalam baitnya, “Ilmu itu akan bertambah dengan banyak diinfakkan (diajarkan). Ia akan berkurang apabila engkau menahannya dan tidak mau menyebarkannya.
5. Mengajar butuh untuk banyak beristighfar
Istighfar adalah kebutuhan setiap hamba. Bahkan seorang pengajar pun sangat butuh kepada istighfar. Di antara manfaat istighfar adalah membersihkan hati dari dosa-dosa. Dosa-dosa inilah yang dapat menghalangi masuknya ilmu pada hati manusia.
Pada suatu hari Imam Syafi’i duduk menyampaikan hafalannya di depan Imam Malik. Setelah itu Imam Malik menyaksikan kecerdasan Imam Syafi’i dan kesempurnaan pemahamannya. Kemudian beliau berpesan, “Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah memberikan cahaya pada hatimu. Jadi, janganlah engkau padamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan”. (Ad-Da’ wad Dawa’, hlm. 132).
6. Mengajar berarti mencarikan ikhtisar
Seorang pengajar harus tergerak untuk membuat sebuah ringkasan dalam mengajar. Ia wajib berusaha mencarikan materi yang bermanfaat bagi muridnya dalam bentuk yang mudah dipahami.
Syaikh Shalih Al-Ushaimi mengatakan, ”Sedikit akan tetapi dapat menetap dan bermanfaat, lebih baik daripada banyak yang disampaikan akan tetapi kemudian hilang terangkat.” (Ta’dhimul ‘Ilm, hlm. 17).
Apabila ungkapan tersebut disampaikan dengan bahasa yang lain, dapat diungkapkan bahwa materi pelajaran yang singkat dan padat akan tetapi bermanfaat lebih baik daripada materi yang luas dan hebat, akan tetapi menjadikan peserta didik banyak curhat, menjadikan tegangnya urat dan akhirnya dapat merusak niat.
Oleh sebab itu pula banyak dari hadits-hadits Nabi yang ringkas, akan tetapi mengandung makna yang luas. Ini yang diistilahkan dengan jawami’ul kalim.
7. Mengajar berarti menulis berlembar-lembar
Dengan mengajar, hendaknya seseorang menjadi tergerak untuk menulis hal-hal yang bermanfaat. Misalnya seorang guru orang akan menulis poin-poin tentang pelajaran, Menyusun Rancangan Pembelajaran (RPP), membuat karya tulis, menyusun makalah, membuat jurnal dan sebagainya. Bisa juga menyusun buku antologi.
Dengan menulis ini, seorang pengajar akan menjadi produktif dan meninggalkan jejak kebaikan setelah ia meninggal. Seorang penyair Arab mengatakan, “Kebaikan orang yang hidup adalah ketika mereka masih hidup. Sedangkan setelah meninggal, maka yang tersisa adalah keindahan kitab dan sejarah hidupnya. (Fihrisul Faharis, I/51).
8. Mengajar berarti berusaha mengubah akhlak para pelajar
Tatkala seorang pengajar mengajar para peserta didik, hendaknya tidak hanya memperhatikan kondisi akademik saja. Pengajar juga punya tanggung jawab untuk memperbaiki akhlak dan adab.
Akhlak inilah termasuk hal yang amat menentukan perilaku seseorang ketika sudah keluar dari sebuah lembaga pendidikan tempat belajarnya. Seorang penyair Arab mengatakan, “Suatu umat akan tetap ada ketika memiliki akhlak yang baik. Apabila mereka kehilangan akhlak mereka, maka umat itu akan lenyap.”
Dan termasuk tanda dari pendidikan yang baik yaitu ketika memperhatikan masalah etika dan adab para peserta didik.
9. Mengajar berarti menjadikan jiwa berpendar
Dalam mengajar sangat dibutuhkan kelapangan hati dan kelonggaran jiwa. Seorang pengajar sudah sepantasnya berusaha menjadikan dirinya untuk bisa berpikir dengan lapang. Ia berusaha untuk memiliki hati yang longgar. Dengan begitu, maka ia akan bisa mengajarkan ilmu dan adab kepada orang lain.
Di antara contohnya adalah ketika mengajarkan Fiqih tentang komparasi (perbandingan) madzhab. Seorang pengajar dituntut untuk berlapang dada dalam menjelaskannya. Paslanya dalam pembahasannya pasti akan menghadapi masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama yang bersumber dari ijtihad.
10. Mengajar berarti berusaha menjadi seorang teladan yang benar
Seorang pengajar juga wajib berusaha untuk menjadi teladan bagi para peserta didik. Inilah hakikat dari membangun sebuah peradaban. Keteladanan ini pulalah yang sangat berpengaruh dalam mendidik para pelajar.
Menjadi teladan bukanlah hal yang mudah. Hal itu karena banyak sekali tantangan dan ujian ketika akan menjadi seorang teladan. Inilah makna yang terberat dari seorang pengajar.
Demikian beberapa makna yang saya dapatkan setelah beberapa tahun mengajar. Sampai saat ini pun saya masih terus belajar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Mudah-mudahan Allah memberikan taufiq kepada kita untuk bisa istiqomah dalam kebaikan sampai ajal menjemput.
Daftarkan diri Anda sebagai anggota e-Guru.id dan dapatkan pelatihan gratis setiap bulan untuk meningkatkan kompetensi sebagai pendidik. Caranya, klik pada link ini atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!
*Meniti Jalan Menjadi Guru (MJMG) adalah konten serial yang mengisahkan perjalanan dan pengalaman menjadi seorang guru yang ditulis sendiri oleh nama bersangkutan. Tayang eksklusif di NaikPangkat.com dan akan dibukukan dalam sebuah antologi dengan judul “Meniti Jalan Menjadi Guru”