Guru dan Keluarga di tengah Keterbatasan Masa Pandemi

- Editor

Jumat, 5 November 2021

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh Muhtar Arifin

Pengajar di Ma’had Ali Al-Furqon Magelang

Masa pandemi masih belum berhenti sepenuhnya. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih diberlakukan di beberapa daerah. Aktivitas di berbagai bidang pun masih belum pulih sepenuhnya. Kondisi tersebut menuntut kita sebagai guru untuk berpikir positif dalam setiap keadaan meskipun terasa sulit. Hal itu karena dampak pandemi ini demikian luas, mencakup segala lini kehidupan. 

Apabila seseorang berpikir positif ketika menyikapi sesuatu yang terasa sulit, maka ketenangan jiwa dan ketenteraman hatilah yang akan dirasakan. Sedangkan apabila selalu berpikiran negatif dan buruk sangka, maka hidup seseorang terasa suram, hati pun terasa sempit, kegelisahan dan kegalauan selalu menyelimuti seseorang. 

Oleh karena itu, Nabi menyampaikan : “Janganlah salah seorang di antara kalian sekali-kali meninggal kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah ta’ala”. (HR. Muslim). 

Sementara itu, menikah dan membangun sebuah keluarga merupakan ibadah sebagaimana firman-Nya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kalian”. (QS. An-Nur: 32). 

Besarnya beban yang ditanggung oleh orang yang telah menikah, ditambah dengan tanggungan-tanggungan lainnya telah digambarkan oleh Imam Ahmad ketika ditanya bagaimana keadaan beliau, lalu mengatakan: “Bagaimana keadaan orang yang dituntut oleh Rabbnya untuk menunaikan kewajiban-kewajiban, Nabinya menuntutnya untuk melakukan sunnah-sunnah, kedua malaikat menuntutnya agar memperbaiki amalan, jiwanya menuntut untuk dipenuhi nafsunya, iblis menuntutnya untuk melakukan kekejian, malaikat pencabut nyawa mengawasinya untuk mencabut ruhnya dan keluarganya menuntutnya agar memenuhi nafkah mereka” (Siyar A’laamin Nubala’, XII/227). 

Di tengah masa pandemi yang penuh keterbatasan tanggungan tersebut tentu semakin berat. Pasalnya, semua orang dipaksa untuk tinggal di rumah dan melakukan pekerjaannya dari rumah. Namun demikian, ada sebuah hikmah yang besar dari adanya WFH (Work From House) yaitu meningkatnya perhatian seorang guru terhadap keluarganya. 

Ketika kegiatan belajar dan mengajar dilakukan secara offline, maka tidak jarang seorang guru sangat sibuk dalam menyiapkan kebutuhan mengajar. Terkadang anak kurang mendapatkan perhatian. Sebagai seorang suami, terkadang kurang memperhatikan istrinya karena kesibukan di sekolahnya. Demikian juga seorang istri yang sibuk berprofesi sebagai guru sering mengesampingkan kewajibannya terhadap suaminya dan anak-anaknya disebabkan banyaknya tugas di luar rumah. 

Dengan adanya pandemi ini, salah satu sisi positifnya adalah bahwa anggota keluarga semakin mendapatkan perhatian. Hal itu karena seorang ibu atau ayah yang berprofesi sebagai guru tidak banyak bolak-balik antara rumah dan sekolahan. Dengan tetap tinggal di rumah masing-masing, ia dapat menjalankan kewajibannya sebagai guru, dan ia juga dapat menjalankan tugasnya dalam keluarganya. 

Allah ta’ala telah memperingatkan kita semua untuk memperhatikan diri kita sendiri beserta keluarga kita. “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka” (QS. At-Tahrim: 6). 

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (VIII/167) membawakan atsar dari Ali bin Abi Thalib – semoga Allah meridhai beliau – yang menjelaskan ayat tersebut dengan mengatakan: “Ajarkanlah mereka adab dan ilmu”. Maka ini bisa menjadi motivasi yang kuat bagi kita sebagai guru untuk senantiasa memperhatikan diri dan keluarga. 

Dengan demikian, apabila kita sebagai seorang guru, hendaknya tidak mengesampingkan kewajiban terhadap keluarga kita karena banyaknya pekerjaan dan tugas di sekolah. Sesibuk apapun sudah semestinya untuk tetap memberikan perhatian kepada keluarga dan anak-anak. Hal itu karena mereka adalah termasuk di antara perkara yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim terdapat keterangan: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya”

Dan ketika nantinya keadaan telah pulih dan pandemi telah berhenti sehingga kita bebas beraktivitas di luar rumah,hendaknya kita sebagai guru tetap memperhatikan keluarga kita. Karena termasuk dosa adalah menyia-nyiakan keluarga. Dalam hadits Abdullah bin Amr, Nabi – shallallahu ‘alaihi wasallam – bersabda: “Cukuplah dianggap sebagai dosa bagi seseorang tatkala ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya” (HR. Abu Dawud, Shahih). 

Banyak cara yang dapat ditempuh untuk membina keluarga. Islam telah mengajarkan berbagai cara yang dapat ditempuh dalam rangka menjaga diri dan keluarga. Di antara bentuknya adalah sebagai berikut ini: 

1.     Mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu syariat bagi anggota keluarga

Ilmu syariat adalah termasuk sebab yang mengantarkan seseorang kepada kebaikan dunia dan akhirat. Imam Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa menginginkan dunia, maka hendaknya ia memiliki ilmu, dan barangsiapa menginginkan akhirat, maka hendaknya ia memiliki ilmu” (Al-Majmu’ Syarhil Muhadzdzab, I/12).

2.     Saling menasihati dalam menegakkan kewajiban-kewajiban sehari-hari

Nasihat adalah kebutuhan setiap manusia bagaimanapun kondisinya, termasuk dalam keluarga. Oleh karena itu, dinyatakan oleh Allah sebagai tanda orang yang tidak merugi yaitu saling menasihati. Dalam al-Ashr (2-3) disebutkan: “Sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dengan kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran”.

3.     Mengajarkan akhlak yang mulia dalam keluarga

Akhlak adalah merupakan penghias yang amat besar pengaruhnya dalam kehidupan. Nabi berpesan: “Pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi). 

Akhlak yang baik terkumpul dalam tiga perkara sebagaimana dijelaskan oleh Hasan al-Bashri : “Kebaikan akhlak adalah bermuka cerah, memberikan kebaikan (manfaat) kepada orang lain, dan menahan agar tidak mengganggu (Ihya’ Ulumuddin, III/53). 

Sebagai orang tua, sudah sepantasnya mengajarkan tiga perkara tersebut kepada anggota keluarganya. Ini juga termasuk berdakwah di lingkungan keluarga. 

4.     Menjaga rumah dari kemungkaran-kemungkaran

Keluarga guru biasanya menjadi sorotan di masyarakat. Ia dijadikan sebagai contoh di lingkungannya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya berusaha menghindarkan diri dari kemungkaran-kemungkaran agar tidak termasuk mempelopori keburukan dan dosa. 

Nabi telah memperingatkan: “Barangsiapa yang menunjukkan kepada kesesatan, maka ia menanggung dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (HR. Muslim). 

5.     Berusaha menjadi contoh yang baik untuk anak-anaknya 

Sebagai guru, sudah sepantasnya kita berusaha agar dapat menjadi contoh bagi keluarga kita. Apalah artinya ucapan dan nasihat yang baik dan berharga tetapi perbuatannya tidak dapat dijadikan sebagai tauladan. 

Anak-anak biasanya meniru kebiasaan orang tuanya. Syaikh Sa’d bin Muhammad al-Wadi’i mengistilahkan pembinaan dengan tauladan ini sebagai at-Tarbiyatush Shoomitah (pembinaan dengan diam/tidak banyak bicara) akan tetapi dampaknya sangat luar biasa (At-Tarbiyah bil Qudwah, hlm. 11-12). 

Tidak lupa, hendaknya kita juga berdoa kepada Allah ta’ala agar diberikan kemudahan dalam menjalankan amanah-amanah yang menjadi tanggungan kita. Semoga Allah memberkahi semua langkah kita sehingga dapat menggapai keselamatan dan keberkahan di dunia dan akhirat. 

Dapatkan info terbaru dan ikuti seminar atau diklat untuk guru secara gratis yang dapat menunjang profesionalitas serta kompetensi dengan cara menjadi anggota e-Guru.id. Klik pada link INI atau poster berikut untuk gabung menjadi member e-Guru.id!

Berita Terkait

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?
Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar
Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan
Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045
Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik
Peran Orang Tua dalam Mendidik Anak untuk Mensuksekan Kurikulum Merdeka
Penerapan Student Lead Conference untuk Meningkatkan Kepercayaan Diri Peserta Didik
Pembelajaran Berbasis Kearifan Lokal yang Masih Minim
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 4 September 2024 - 10:05 WIB

Chat GPT: Menguntungkan atau Merugikan Guru?

Kamis, 15 Agustus 2024 - 23:11 WIB

Mission Service Learning sebagai Pilihan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila pada Jenjang Sekolah Dasar

Kamis, 15 Agustus 2024 - 22:44 WIB

Pentingnya Komunitas Belajar bagi Guru di Satuan Pendidikan

Rabu, 14 Agustus 2024 - 14:52 WIB

Penguatan Kemampuan Literasi untuk Menyiapkan Generasi Gemilang 2045

Selasa, 13 Agustus 2024 - 21:42 WIB

Undang-Undang Perlindungan Anak dan Dilema dalam Pembentukan Karakter Disiplin Peserta Didik

Berita Terbaru

Unduh Sertifikat Pendidikan 32 JP Gratis