Aku pernah jatuh cinta diam-diam kepada seorang guru. Dia adalah guru yang pantas digugu dan ditiru. Keteladanannya sungguh luar biasa: pandai dan taat beribadah. Cara menyampaikan materi dalam pembelajaran sangat mudah dipahami dan tidak membosankan.
Wajah guru tersebut lumayan tampan dan sifatnya ramah. Dia juga seorang yang dermawan, karena seringkali memberikan hadiah saat ada lomba-lomba peringatan hari besar agama Islam atau sekadar memberi apresiasi pada murid-muridnya. Dan akulah yang seringkali mendapat hadiah itu. Seingatku tidak ada di antara temanku yang merasa iri terhadap prestasiku tersebut.
Pada dasarnya aku sangat bersemangat dalam belajar. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku termotivasi oleh seseorang. Semua aktivitas aku jalani apa adanya.
Selepas Asar, aku biasa mengajari anak-anak yang belajar mengaji di tingkat dasar (Iqra). Kemudian setelah Magrib, aku mengaji dengan teman-teman sebayaku. Pelajaran yang diajarkan saat itu adalah pelajaran Tauhid, Akhlak, Fiqih, Tajwid, Nahwu-Shorof untuk tingkat pemula.
Jadwal pelajaran telah diatur sedemikian rumah berkat inisiatif seorang guru dan takmir masjid. Kehadiran guru tersebut menjadikan kegiatan di masjid lebih hidup.
Ketika sudah terdapat banyak santri, dibentuk organisasi kepengurusan Madrasah yang kemudian diberi nama Madrasah Nurul Hidayah. Setelah itu, santriwan dan santriwati dikenakan iuran per bulan dan guru pun diberi honor sekadarnya.
Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku juga terlibat menjadi salah satu guru di yayasan tersebut yaitu mengajari anak-anak kecil membaca Al Quran. Itulah pertama kali ketika aku merasa menjadi pribadi yang lebih berguna karena bisa membagi ilmu kepada orang lain, meskipun hanya sedikit. Sore mengajar, malam belajar.
Semua pelajaran aku anggap penting dan aku belajar dengan penuh semangat. Namun terdapat pelajaran yang spesial yaitu Tajwid dan Fiqih yang diajarkan oleh seorang guru, yang membuatku tidak mau ada kesalahan di mana aku harus bisa menguasai materinya dengan sempurna dan harus unggul dari teman-teman satu kelas.
Tanpa aku sadari ada sesuatu yang tumbuh dalam diriku. Aku merasa ada sesuatu yang membebani dalam diriku, aku menjadi gugup dan gemetar bila bertemu dengan guru tersebut; aku merasa malu dan seringkali muncul perasaan campur aduk antara senang dan takut.
Keadaan demikian berlangsung sekitar 1 tahun dan puncaknya saat guru yang aku maksud ditugaskan ke luar kota. Aku seperti anak ayam kehilangan induk: bingung dan merana.
Ketika beliau melamar menjadi guru PNS, akulah yang menuliskan surat lamaran tersebut. Di saat itu, aku bisa merasakan saat itu juga bahwa sang guru idola juga menaruh ‘rasa’ padaku. Sehingga ada harapan dalam hatiku untuk hidup berdampingan dengannya?
Hari berganti hari, minggu berganti bulan, hingga memasuki tahun 90-an dari tempat tugasnya aku tidak pernah mendengar berita tentangnya. Hanya saja aku sempat mendapat kabar dari temannya, bahwa beliau sempat datang ke Madrasah dan sempat berkunjung ke rumah temanku yang cantik dan kaya raya. Rasanya bagai disambar petir di siang hari. Sekian bulan dalam kesedihan dan merana, tiba-tiba ia datang, tapi tidak menemuiku.
Hatiku berkecamuk hebat dan menjadi linglung berkepanjangan. Tanpa berpikir panjang aku menulis surat untuk memutuskan ‘‘hubungan’’ yang memang tidak pernah diresmikan.
Lalu ada balasan dari sang guru, dengan berlinang air mata aku membacanya.
“Saya tidak ingin hubungan kita sampai di sini,” itu yang dikatakan dalam suratnya.
Hatiku sudah hancur dan aku tetap memilih meninggalkannya meskipun dengan kepedihan yang sangat dalam.
Setelah itu hari-hariku terasa sangat melelahkan, lemas tak bertenaga, pusing dan saat berjalan seperti tidak menginjak bumi. Aku jadi sering ke dokter dan aku selalu diberi vitamin.
Dengan kondisi seperti itu, aku jadi tidak nyaman tinggal di rumah. Aku jadi sering bepergian ke rumah keluarga dan menginap selama berminggu-minggu hanya untuk menghilangkan penat.
Hingga suatu hari, akhirnya aku diajak ke NTT oleh budhe (tante) dan melanjutkan sekolah di sana untuk jenjang SMA dan Perguruan Tinggi. Aku menyambut ajakan itu dengan sangat antusias demi melepaskan beban hidupku. Aku berpikir dengan cara ini aku akan dapat terlepas dari penderitaanku.
Pindah dari daerah di Jawa Timur menuju NTT tentu tidak mudah. Namun di tempat baru tersebut, mungkin adalah masa depanku yang lebih baik, berpendidikan tinggi, dan berpenghasilan yang baik.
30 tahun tahun berlalu, di tanah rantau aku jadi guru PNS. Aku mendapat pendamping hidup orang NTT keturunan Madura dan sekarang aku sudah bahagia dengan dikarunia lima anak. Anakku yang sulung sudah menyelesaikan pendidikan S1 dan sekarang melanjutkan studi S2. Anak yang nomor dua dan tiga juga sedang kuliah; dan yang bungsu masih SD.
Aku bisa melewati kesulitan hidup berkat pertolongan Allah. Manusia tidak ada yang sempurna, namun kita tetap harus bersyukur dengan segala pemberian-Nya.
”Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka pasti azab-Ku sangat berat.” ~ Surat Ibrahim, ayat 7.
Ditulis oleh Yulis Sa’adah, S.Pi